TOKOH YANG MEMILIKI PERAN PENTING DALAM PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI
WAJO
A.
Jamaluddin
Akbar Al-Husaini
Jamaluddin Akbar al-Husaini atau Maulana Husain
Jumadil Kubro (1310-1453M) dikenal sebagai seorang muballigh terkemuka, dimana
sebagian besar penyebaran islam nusantara (wali songo), berasal dari keturunannya. Beliau dilahirkan
pada tahun 1310 M di negeri Malabar , yakni sebuah negeri dalam wilayah
Kesultanan Delhi
Ayahnya adalah seorang Gubernur (Amir) negeri malabar,
yang bernama Amir Ahmad Syah Jalaluddin.
1.
Silsilah
Keturunan
Nasab lengkap
beliau adalah Maulana Husin Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin
Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin ‘Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib
Mirbath bin ‘Ali Khali Qasam bin ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Muhammad Maula
Ash-Shaouma’ah bin ‘Alwi al-Mubtakir bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa An-Naqib bin Muhammad An-Naqib bin
‘Ali Al-’Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam
‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
2.
Keluarga
Maulana Husain,
memiliki banyak saudara di antaranya : Aludeen Abdullah, Amir Syah
Jalalluddeen (Sultan Malabar), Alwee Khutub Khan, Hasanuddeen, Qodeer Binaksah,
Ali Syihabudeen Umar Khan, Syeikh Mohamad Ariffin Syah (Datuk Kelumpang Al
Jarimi Al Fatani) dan Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera)
Maulana Husain
memiliki beberapa nama panggilan, diantaranya Sayyid Husain Jamaluddin, Syekh
Maulana Al-Akbar atau Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat, Syeh Jamaluddin Kubro dan
Syeh Jamaluddin Akbar Al-Husaini. Beliau tercatat memiliki isteri 6 orang,
yaitu
a.
Lalla Fathimah binti Hasan bin Abdullah Al-Maghribi Al-Hasani (Morocco)
Memperoleh seorang anak, yang kemudian dikenal
dengan nama Maulana Muhammad Al-Maghribi
b.
Puteri Nizam Al Mulk dari Delhi
Memperoleh 4 anak yaitu: Maulana Muhammad
Jumadil Kubra, Maulana Muhammad ‘Ali Akbar, Maulana Muhammad Al-Baqir (Syekh
Subaqir), Syaikh Maulana Wali Islam
c.
Puteri Linang Cahaya
(menikah tahun 1350 M)
Memperoleh 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar,
Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh
Yusuf Shiddiq
d.
Puteri Ramawati (Puteri Jeumpa/Pasai) (Menikah tahun 1355 M)
Memperoleh seorang anak yang bernama Maulana
Ibrahim Al Hadrami
e.
Puteri Syahirah dari Kelantan (Menikah tahun 1390 M)
Memperoleh 3 anak. yaitu ’Abdul Malik, ‘Ali
Nurul ‘Alam dan Siti ‘Aisyah (Putri Ratna Kusuma
f.
Puteri Jauhar (Diraja Johor)
Memperoleh anak bernama Muhammad Berkat Nurul
Alam dan Muhammad Kebungsuan.
3. Sejarah Dakwah
Pada tahun 1349
M bersama adiknya Syeikh Thanauddeen (Datuk Adi Putera) , tiba di Kelantan dalam menjalankan misi dakwahnya. Dari Kelantan beliau menuju Samudra Pasai, dan beliau kemudian bergerak ke arah Tanah Jawa. Di Jawa beliau menyerahkan tugas dakwah ke
anakanda tertuanya Maulana Malik Ibrahim. Beliau sendiri bergerak ke arah Sulawesi dan mengislamkan Raja Lamdu Salat pada tahun
1380 M
Sejarah masuknya islam di sulawesi selatan pasti selalu dikaitkan
dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro
dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika
Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini
dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605
setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut. Tetapi kalau titik pijaknya
adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak
keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320
dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Syeikh Jamaluddin al-Akbar
Al-Husaini. Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan Nabi
atau ahl al-bayt yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga
merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih
dikenal dengan wali songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul
Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam
Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin
Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel
bahwa Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja
Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta
rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi
Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai
Bojo Nepo kabupaten Barru
Kiyai Jamaluddin mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar
yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain
al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia)
bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan
Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam
bernama La Maddusila dia adalah raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800
H/1337 M. Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan
siapa yang mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah
mustahil bila yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Syeikh Jamaluddin
Al-Akbar Al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis
dengan masa pemerintahan raja itu.
Keterangan serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki
Majapahit, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang mula-mula tinggal di
daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian
mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan
pertanian, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini berhasil menolong banyak orang
Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian
melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini
Lalu mengapa nama Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini tak
pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah. Padahal perannya cukup penting dalam
proses Islamisasi di Sulawesi Selatan. Bahkan sebelum para wali songo
menyebarkan Islam di Jawa, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini telah
memulainya dan konon wali songo sempat berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri
Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan Islam di
kerajaannya, terlebih dahulumeminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin
atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah
dibawa lebih dahulu oleh kakeknya, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini
pada tahun 1320 M di daerah Bugis Sulawesi Selatan. Boleh jadi
karena Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini tidak pernah bersentuhan
langsung dengan kerajaan Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu
kerajaan yang terbesar saat itu di Sulawesi Selatan sehingga proses Islamisasi
di Sulawesi Selatan tidak dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah
Islamisasi di Sulawesi Selatan sesungguhnya tidaklah tunggal
Yang menarik kemudian, dalam beberapa versi “resmi” tentang
masuknya Islam di kerajaan Gowa-Tallo disebutkan bahwa sebelum Datuk ri Bandang
tiba di Tallo, raja Tallo Sultan Abdullah
diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah nabi sendiri.
Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi lalu
menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk
memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke
Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia
lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun
heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu.
Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada
ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa
nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah
ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh
beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di
Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya.
Ini
kemudian menjadi menarik karena bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai
sejarah Islamisasi di Nusantara atau Sulawesi Selatan secara khusus. Tapi
bagaimana akar polarisasi keberagamaan sampai pada nalar agama, itu bisa
dilacak dari proses islamisasi itu. Misalnya, ada perbedaan model dakwah yang
dikembangkan oleh Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini dengan Datuk ri
Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo, dia dan para pengikutnya justru tidak
mendakwahkan Islam. Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini justru
mengadakan pencak silat secara tertutup dengan para pengikutnya. Masyarakat
sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa gerangan yang diadakan tiap sore itu.
Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan tamu-tamu itu adalah permainan
langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan yang bisa
menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang memainkan
permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat setempat
menamainya dengan langka arab.
Masyarakat pun kemudian memohon menjadi anggota agar dapat ikut
dalam permainan langka itu. Karena permainan latihan berlanjut hingga malam
hari, selepas magrib, Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini dan
rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut latihan juga turun shalat
meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada akhirnya peserta latihan itu
banyak yang mengucapkan syahadatain.
Belakangan, arena latihan yang bernama langka arab menjadi
langkara. Kata ini yang kemudian menjadi langgara, lalu berubah menjadi
katangka kemudian menjadi mushallah dan masjid. Berbeda dengan Datuk ri Bandang
dkk, ketika datang ke Makassar, sistem dakwah yang dikembangkan selain
mengajarkan syahadatain mereka langsung mengajarkan sembahyang lima waktu,
puasa ramadhan dan melarang perbuatan dosa besar seperti zina, menyembah
berhala, membunuh, mencuri dan minum khamar. Lain halnya dengan yang
dikembangkan oleh Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini atau yang seperti
beliau.
Hampir semua penganjur Islam model terakhir ini menjaga jarak
dengan kekuasaan. Mereka pun tidak mendapat ruang dalam sejarah. Mereka adalah
orang-orang yang sesat. Lihat saja bagaimana Hamzah Fansuri yang dianggap sesat
oleh Ar-Raniri karena dianggap menyebarkan paham wihdatul wujud. Hak serupa
dialami Siti Jenar, Syekh Mutamakkin dsb. Mereka adalah orang yang dianggap
sesat oleh ulama-ulama kerajaan saat itu. Begitu pun di Sulawesi Selatan.
Sebutlah misalnya Latola seorang wali di Desa Samaenre Pinrang, kecamatan
Mattiro Sompe, yang bergelar Ipua Walie Pallipa Putewe Matinroe Massiku’na
(Tuan Wali yang Bersarung Putih Dan Yang Tidur dengan berbaring pada sikutnya),
oleh orang-orang luar dianggap sebagai biang keladi kemusyrikan dan bid’ah di
desa tersebut. Padahal dia penganjur Islam yang justru dianggap wali oleh
penduduk setempat. Atau Syeikh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang sama
sekali tidak dikenal dalam sejarah sebagai penganjur Islam. Padahal, perannya
sangat vital karena tokoh ini adalah penyebar Islam generasi pertama. Tidak
hanya di Sulawesi Selatan tapi justru wali songo pernah berguru kepadanya
Pada awal abad
ke-15, Maulana Husin mengantar puteranya Maulana Ibrahim Al Hadrami ke tanah
Jawa Pada akhirnya beliau memutuskan untuk bermukim di Sulawesi, hal ini dikarenakan, sebagian besar orang Bugis
ketika itu belum masuk Islam. Pada tahun 1453 M, Syeh Jamaluddin Akbar
Al-Husaini dipanggil menghadap Ilahi pada tahun 1953 dan dimakamkan di Tosora
Kab. Wajo
Sulawesi Selatan.
B.
Datuk Sulaiman
Datuk Patimang
yang bernama asli Datuk Sulaiman dan
bergelar Khatib Sulung adalah seorang
ulama dari Koto Tangah, Minangkabau
yang menyebarkan agama Islam
ke Kerajaan Luwu,
Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad
ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama,
yaitu Datuk
ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin
Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu
menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi
Selatan pada masa itu.
1.
Syiar Islam
Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri
Bandang yang ahli fikih
di Kerajaan Gowa
dan Tallo
sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro
dan Bulukumba
Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang
melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan
itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan
tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara,
Luwu
Timur serta Kota
Palopo, Tana
Toraja, Kolaka (Sulawesi
Tenggara) hingga Poso (Sulawesi
Tengah).
Seperti umumnya budaya dan tradisi masyarakat nusantara pada
masa itu, masyarakat Luwu juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme
yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah dewa-dewa. Namun dengan
pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Patimang
dan Datuk ri Bandang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari
masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu
berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware
Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya
setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala
aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama
kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi
kerajaan.
Dato’ ri Sulaiman (Dato’ Patimang)
bertemu dengan Datu Luwu yaitu Daeng Parabbang dan berdiskusi tentang ketuhanan.
Ternyata konsep Dewata Seuwae yang dipahami Datu Luwu dan rakyatnya kemudian
disebut Dato’ Patimang sebagai Allah Subhanahu Wataala dan konsekuensinya
adalah mengakui kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja Luwu mengucapkan dua
kalimat syahadat.
Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol
kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat itu. Dan Luwu adalah simbol
tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu adalah kemenangan besar
dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu untuk menyebarkan
Islam, Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah kekuatan dan
menganjurkan agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan politik dan
militer yang dimilikinya.
Gowa menyerang Siang dan Suppa yang
sempat dikristenkan lalu diIslamkan. Kemudian kerajaan-kerajaan Ajatappareng
(Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun 1605. Selanjutnya kerajaan Soppeng
di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan Soppeng dan Gowa menyerang Wajo
dan Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609. Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan
Wajo menyerang Bone pada tahun 1611. Takluknya Bone adalah dalam musu selleng
“Perang Islamisasi” adalah pertanda masyarakat jazirah Sulawesi Selatantelah
menerima Islam.
Diakuinya Islam menjadi agama resmi
kerajaan, berimbas pada berubahnya konstitusi dan struktur kerajaan.
Pangadareng adalah konstitusi kerajaan yang terdiri dari
1.Ade’ yang berarti undang-undang
atau ketetapan permanen.
2.Rapang yang kurang lebih berarti
yurisprudensi.
3.Wari’ yang bermakna aturan-aturan
termasuk keprotokoleran
4.Bicara yang berarti kesepakatan
dewan kerajaan.
Setelah masuknya Islam, maka faktor
ke-5 adalah syara’ atau syariat. Dari sinilah perlahan syariat Islam
ditegakkan. Kebiasaan pra Islam misalnya makan babi, minum lawar dan ballo’
dihilangkan untuk mengikuti syariat Islam. Disamping itu, peran Bissu pendeta
Bugis diminimalisir.
2.
Karomah yang dimiliki
Ini kejadian di
thn 1605 , abad 17. Tandipau menguji kesaktian
ilmu Datuk Sulaiman. Seorang tamu terhormat Raja Luwu dari Tanah Minangkabau.
Berkata Tandipau kepada Sulaiman,”Selaku muslim,
Ilmu apa yang dapat kamu perlihatkan kepada kami yang bukan muslim?”.
“Tadak banyak”, jawab Sulaiman.”Namun Saya mohon
kepada tuan,jika tak keberatan, membawakan sebuah gentong kosong dan air seukuran gentong kehadapan Saya?”, pinta
Sulaiman dengan nada merendah. Selang lima menit kemudian, gentong
permintaan Datuk sudah ada dihadapannya.”Tapi, kalau boleh Saya tahu Datuk,
gentong ini untuk apa,yah?” .Sambil menumpahkan air
ke dalam gentong Datuk berucap,”Lihat saja nanti.Apa yang Tuan inginkan
akan Tuan lihat sendiri”.
Gentong yang telah sesak dengan air puti tadi
kemudian diletakkan di atas tanah datar.Tandipau
dan para petinggi kerjaan Luwu yang hadir memperhtikan dengan seksama.
“Tandipau”, tanya Datuk Sulaiman,”Saya
persilahkan Tuan mengangkat gentong itu, lalu mulutnya di balik menghadap ke
tanah. Dan tahan sampai 5 menit.Boleh tuan?”
Tandipau memenuhi permintaan Datuk
Sulaiman.Gentong penuh air diangkat ke atas lalu mulutnya di balik menghadap
tanah.Apa yang terjadi? Tak setetespun air jatuh dari perut gentong yang
sesak.Ini berlangsung selama 5 menit.
“Anda benar-benar hebat”, kata Tandipau pada Tamunya.
Tapi Tandipau lebih kagum pada yang satu ini.
Enam butir telur disusun vertikal di atas lantai. Tiga menit kemudian satu butir diambil yang
menyebabkan ada ruang kosong antara dua telur bagian atas dan tiga telur bagian
bawah.
Logika Tandipau bekata,”Dua telur bagian
atas pasti jautuh karena tak adalagi telur yang mengganjal”.Kenyataannya tidak
demikian.Kelima telur ayam itu tetap tersusun vertikal seperti semula.Tak
satupun dari telur itu jatuh berantakan.
“Itulah yang Saya miliki Tuan”, ucap Datuk
Sulaiman mengakhiri dmonstrasinya.
Cerita selanjutnya. Raja Luwu akhirnya
mempersilahkan Datu Sulaiman berdagang dan melakukan syiar islam dan
Tandipau menjadi orang pertama dari kerajaan Luwu saat itu memeluk
Islam.Namanya kemudian dijadikan nama jalan di salah satu jalan poros Kota
Palopo Sul-Sel. Fakta sejarah dari kerjaan luwuk
itu merupakan counter attack dari anggapan bahwa Islam disebarkan dengan
pedang.Tidak, Islam tidak disebarkan dengan pedan, melainkan disebarkan dengan
cara lembut dan santun yang berdiri di atas hati yang suci.
Sebelum
Datuk Patimang dan rombongannya keluar meninggalkan istana, Raja Luwu Payung
Luwu XV La Pattiware Daeng Parrebung mengatakan bahwa raja berjanji jika dia
dapat dikalahkan maka sang Raja akan masuk dan memeluk Islam.
Lalu
dilakukanlah adu ilmu itu dilakukan. Mereka berdua masing masing
mempertunjukkan ilmu mereka. Dan pada akhirnya dimenangkan oleh Datuk Patimang.
Proses pengislaman pun dilakukan sebagai tanda bahwa sang Raja mengaku bahwa
ilmu dari Datuk Patimang lebih kuat dari pada miliknya dan juga sebagai tanda
dia menepati janjinya. Proses pengislaman Raja Luwu ini terjadi pada tahun 1603
M dan bertepatan 15 Ramadhan 1013 H. Lalu, akhirnya Raja Luwu Payung Luwu XV La
Pattiware Daeng Parrebung pun masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat, yang merupakan syarat pertama sebagai pemeluk agama Islam disaksikan
oleh seluruh pejabat istana dan juga disaksikan oleh Datuk Ri Bandang dan Datuk
Ri Tiro. Setelah sang Raja menyatakan dirinya sebagai pemeluk islam, maka
kemudian para pejabat istana pun menyatakan diri ingin memeluk agama islam.
Raja Luwu Payung Luwu XV La Pattiware Daeng Parrebung lalu memakai gelar Sultan
Muhammad Mudharuddin sebagai tanda bahwa telah memeluk islam.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Raja Luwu ini adalah
memindahkan ibukota kerajaan Luwu dari Malangke ke daerah Ware (sekarang
Palopo). Pemindahan ibukota ini dilakukan dengan pertimabangan untuk semakin
mengembangkan ajaran islam di tanah Luwu dan sekitarnya. Hal tersebut disetujui
oleh seluruh pembesar kerajaan. Namun, Datuk Patimang yang saat itu juga
merupakan penasehat istana lebih memilih untuk tetap tinggal dan menetap di
daerah Malangke hingga meninggal dunia daripada ikut ke Ware.
Setelah Raja Luwu Payung Luwu XVI Pati Pasaung
Toampanangi berhasil memindahkan dan membangun daerah Ware, maka dia memutuskan
untuk membangun sebuah sebuah mesjid sebagai tempat ibadah. Dikarenakan
sebelumnya belum ada mesjid yang berdiri di tanah Luwu.
Kemudian Raja Luwu meminta pendapat kepada
Datuk Patimang tentang idenya untuk membuat masjid tersebut. Ide tersebut pun
lalu disetujui olehnya. Lalu, Datuk Patimang pun berangkat menuju Istana Luwu
(Saoraja) di Ware. Sesampainya disana, maka Raja Luwu Payung Luwu XVI Pati
Pasaung Toampanangi dan Datuk Patimang dibantu oleh Fung Man Te, yang merupakan
saudagar muslim yang kaya. Kemudian mereka membuat sebuah masjid, tak jauh dari
Istana Saoraja dibantu oleh rakyat kerajaan Luwu.
Setelah pembangunan selesai, maka masjid
tersebut merupakan masjid pertama di Luwu difungsikan sebagai masjid istana dan
masjid kerajaan. Sekarang, masjid itu kita kenal dengan Masjid Jami Tua Palopo.
Selain itu, setelah melakukan pemindahan
ibukota dan pembangunan masjid, maka dilakukanlah penyebaran islam di seluruh
tanah daerah bawahan kerajaan Luwu. Penyebaran Islam
dilakukan lewat Syair syair pujangga yang disebut Massure’. Pada masa itu Luwu berkembang cukup pesat, karena makmur
dari hasil pertanian dan hasil laut yang juga melimpah. Bahkan Jumlah penduduk
saat itu mencapai 170 ribu jiwa dikarenakan banyak masyarakat pendatang.
Perkembangan Islam di tanah Luwu cukup berkembang
dengan cepat dan hampir tidak ada kendala, karena sistem pengislamannya
mendahulukan Raja sehingga rakyatnya pun ikut memeluk Islam. Dan selain itu,
setelah Raja memeluk Islam, maka agama Islam dijadikan sebagai agama resmi
kerajaan Luwu. mengalami perkembangan yang luar biasa, hingga akhirnya daerah
sekitar kerajaan Luwu menjadi penduduk Islam.
Metode yang digunakan dalam
penyebaran islam di Sulawesi-selatan :
·
Mendirikan pondok pesanten
mengajarkan agama islam dan murid-murid mereka meneruskannya dengan mendirikan
sekolah-sekolah baru. Para penguasa setempat bertindak sebagai pelindung bagi
sekolah-sekolah tersebut.
·
Melalui perdagangan
·
Melalui pernikahan
·
Mendirikan mesjid umumnya terdapat
di kota-kota, dan mushalla di desa-desa.
Kadi ditunjuk untuk hadat dan penguasa, tempat mereka
bertindak sebagai hakim pengadilan agama (syariah). Imam (pengurus
masjid) ditunjuk untuk wanua (masyarakat adat); dan guru (Anrong-Guru
atau Anre-Guru) merupakan baik guru yang menyiarkan agama baru itu ke
desa-desa maupun pejabat terendah dalam hierarki administrasi Islam. Guru
menjadi anggota cabang pengadilan agama yang dikepalai Imam. Sanak kerabat
kerajaan atau para bangsawan tinggi biasanya diangkat ke kedudukan kadi dan
Imam. Tidak ada hierarki seperti dalam pemerintahan. Dengan demikian, tidak ada
perbedaan antara aristokrasi dan para pemimpin Islam.
Datuk Sulaiman juga dikatakan sebagai kadi pertama atau
parewa sara’ pertama dalam sejarah kerajaan Islam Wajo yaitu La Sangkuru
Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman
(±1607-1610). Dikemudian hari sang penyebar Islam
itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.
C.
Lasangkuru Patau Mulajaji
La Sangkuru
Patau Mulajaji adalah salah seorang keturunan bangsawan yakni dari keturunan La
Tadangpare menjadi raja di negeri Peneki (Arung Peneki ke-3), yang kemudian
terpilih menjadi Arung Matowa ke-12 menggantikan Arung Matowa La Mangkace To
Uddamang. Beliau memerintah sebagai Arung Matowa sekitar tiga tahun (1607 –
1610). Dalam menjalankan tugasnya sebagai pucuk pimpinan Pemerintahan, rakyat
sangat simpatik kepadanya, karena beliau sangat jujur, berani, cakap, bijaksana
dan memiliki ilmu yang tinggi. Ia amat teguh dalam pendiriannya dan mematuhi
perjanjian yang sudah disepakati.
La Sangkuru
Patau masih merupakan cicit La Tadangpare Puang ri Maggalatung (Arung Matowa
Wajo ke-4) dengan permaisurinya bernama We Tenrigella (WE TENRI BAGERING) putri
arung Cabalu (Bone). Dalam lontarak La Congeng, disebutkan bahwa dari
perkawinannya itu lahirlah empat orang putra dan seorang putri. Kelima anaknya
itu bernama: La Tenripakado To Nampe, La Tenrirekko To Tenrisau, La
Maddaremmeng To Mallu, We Pabbatang Damalu dan La Marasempe.
Kisah
perkawinannya dikatakan bahwa La Tenri Pakado To Nampe dikawinkan dengan Tenri
Pabbisa, putri La Ipa Gajangmalela Ranreng Talotenreng. Dari hasil
perkawinannya itu lahirlah We Tesi. Perkembangan hidup We Tesi makin mekar,
sehat dan tegar menjadi seorang gadis ayu yang cantik. Tidak mengurangi tutur
kata dan perangai kebangsawanannya, namun ia tidak pilih kasih terhadap gadis sebayanya. Hingga La Paturusi To
Sekketti Arung Peneki ke-2 menaksirnya sampai menghantar ia kepelaminan. Dari
hasil perkawinannya itu lahirlah seorang bocah laki-laki dan diberi nama La
Sangkuru Patau Mulajaji. Ibunya bernama We Pappolobongan putri dari La Obbi
Settiware Arung Matowa Wajo ke-2, dan ayahnya bernama La Maddaremmeng To Mallu
(Arung Peneki ke-1).
Sebagaimana
telah dikisahkan dalam sejarah lontarak Wajo, bahwa agama Islam masuk ke Wajo
melalui perlawanan senjata dari kerajaan Gowa. Gowa adalah daerah pertama di
masuki Islam yang rajanya bernama MANGERANGI DAENG MANRA’BIA SULTAN ALAUDDIN.
Penyerangan pasukan Gowa di lakukan sekitar satu bulan setelah kekalahan Soppeng.
Gowa dibantu oleh kerajaan limaE Ajattappareng dan kerajaan Soppeng.
Pertempuran tidak dapat dielakkan yang pada akhirnya banyak menimbulkan korban
jiwa. Pertempuran berakhir dengan kekalahan kerajaan Wajo. Dengan demikian
Arung Matowa Wajo La Sangkuru Patau Mulajaji bersama dengan rakyatnya menerima
agama Islam serta mengucapkan dua kalimat syahadat, bertepatan 15 Syafar 1019 H
(6 Mei 1610 M). La Sangkuru Patau Mulajaji juga digelar Sultan Abdurrahman.
Untuk
memperdalam pengetahuan tentang agama Islam, Arung Matowa memohon guru pada
raja Gowa. Sehingga dikirim Datok Sulaeman Khatib Sulung untuk mengajarkan
Islam pada orang-orang Wajo. Muballig ini diterima baik oleh Arung Matowa La
Sangkuru Patau Mulajaji.
Tidak lama
setelah orang Wajo menerima agama Islam. Arung Matowa La Sangkuru Patau
Mulajaji meninggal dunia dalam tahun 1610 M di Peneki dan gelarnya sesudah
meninggal Petta Matinroe ri Allepparenna. Dan beliaulah Arung Matowa yang
mula-mula dikuburkan jenazahnya. Sedangkan Arung Matowa sebelumnya dibakar dan
abunya disimpan dalam balubu kemudian ditanam. Namun beliau tiada, akan tetapi
ia telah banyak meninggalkan wasiat, nasehat dan kata sulsana kepada anak
cucunya. Antara lain wasiatnya:
mkEdai lskuru ptau
muljji mtiRoea ri alEpEn:
aj nslaiko topRit,
towrni, pkddea, tosogi nmlbo eawai siamet. ap aiytu aptujun riaiko topRitea.
aEK amn admu nw-nwmu psl ribicrn kitea naiynro paisEGEko rigau ptujuea. naiy
ptujuna tau wrniea,aiy pkow riyjuelkaiwi, eptaun riewelyGi aulu ad,
rimekekGergi ad ripdn ptiRo musu, iy mjElorE rieaw tEmsr topRitea ap aiyn prmtn
wnuwea naiy tau sogiea jukuna wnuwea naiy towrniea bukun wnuwea. naiy ptujuna
pkddea naiy erkow aEK ad rimealomu suroai, ripasiajiGn tnea iyn risuro mnE ad,
eK aerg suro esajit aiyn aisuro bliwi. naiy ptujun tauu sogiea nmlbo, aEK amn
mk muposiri naiy sPoGEko sirimu, sPoGEko loKomu.
Artinya: kata La Sangkuru Patau Mulajaji Matinroe ri Alleperenna.
Jangan engkau berpisah dengan alim ulama, pemberani, arif bijaksana
(cendekiawan), orang kaya supaya dijadikan teman akrab, sebab manakala ada
kata-katamu tersalah, tingkah lakumu tidak senonoh, pikiranmu yang keliru tidak
sesuai dalam kitab, ialah yang memberi petunjuk yang benar. demikian pula orang berani
yang merupakan perisai bahkan menjadi benteng negeri pada setiap waktu, dapat
membendung bahaya yang akan mengancam. Itulah sebabnya maka dianjurkan supaya
jangan berpisah para alim ulama, sebab merupakan bahaya kebahagiaan negeri,
sedangkan orang kaya merupakan sumber kebesaran negeri, sedangkan orang berani
adalah tulang punggung negeri. Begitu juga orang cendikiawan dapat membantu
membawa berita resmi, menerima dan sekaligus dapat menjawabnya, baik dari
kalangan keluarga maupun menyangkut situasi negeri.Demikian pula dengan orang
kaya dapat membantu dalam kesulitan akibat utang dan sebagainya.
Beliau juga
dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Rahman dan satu-satunya pemimpin wajo dalam
sejarah yang memiliki gelar Sultan. selain itu, beliaulah yang menerima Islam
(pemimpin raja wajo yang pertama memeluk Islam).
D.
AGH. H. Hamzah Badawi
Nama :
KH. Hamzah badawi
Ttl : baru impa-impa 1920
Wafat :
Pada usia 86 hari kamis 2 November 2006 jam 22.15
Pendidikan :
Tsanawiyah
Jabatan :
- PB As’adiyah
-
Kepala
Pengadilan Agama Kab. Wajo
Istri : Hj. Andi banong 10
nanak 6 putra 4 putri
Hj. Sitti Fatimah
E.
AGH. H. Hamzah
Manguluang
Riwayat hidup singkat AGH H. HAMZAH MANGNGULUANG :
Nama : Hamzah
Mangnguluang
Kelahiran : Callaccu, Sengkang 1925
Menikah : 8 September
1948, dengan seorang perempuan (Syamsiyah Akib)
Anak Kandung :
8 Orang, anak pertama lahir tahun 1956, anak terakhir lahir
tahun 1973.
Sementara anak yang ke 6 di atas kapal
Gunug Jati ketika menunaikan
ibadah haji.
Pendidikan : - Cabang Al-Azhar 1936
- VOLK School /
LADEBAU School 1938
- MAI Ibtidaiyah
1947, Tsanawiyah 1950, Aliyah 1952
Pada zaman
penjajahan Jepang, MAI ditutup tetapi mata pelajaran Madrasah dipelajari di
Mesjid Jami Sengkang, yahun 1944 – 1945. penduduk kota sengkang menyingkir ke
luar kota, maka kami bersama guru besar KH. Muhammad As'ad bersama keluarganya
menyingkir ke kampung Baru Orai, tidak lama kemudian menyingkir ke Pallae,
salah satu kampung disebelah selatan barat daya kota sengkang, sekitar 2 km di
situlah kami bersama-sama dengan murid-muridnya yang tidak kembali ke
kampungnya belajar kepada guru besar kita dan menghafal Alfiah kurang lebih 500
bait.
Setelah Indonesia dinyatakan
merdeka tahun 1945 MAI dibuka kembali, dan dilanjutkan alfiah sampai akhirnya
beliau ketika itu menunjuk saya untuk mengajar pada tingkat ibtidaiyah pada
tahun 1946. tetapi saya tetap mengikuti
pondok pesantren yang diajar langsung
oleh guru besar kita KH. Muhammad As'ad sampai wafatnya (29 Desember
1952).
Adapun kitab-kitab yang pernah saya
pelajari dari belaiu, antara lain :
Alfiyah Mulammimah, Kaelahi,
Qawaidullughah Syarhu alfiyah (Syarhubennu Aqil), Bukhari, Riyadhus Shalihin
Qurtuby, Bulugul Maram, Aljalaalaini, albaedhawy, Ash Shaawy, Mughy, Fathul
Muin, Tanwirul Qulub, Muzhatu Nazhar, Al-Baequniy, Muhazzab, Kaukabul Munir,
Tuhfatul Faqir, isagujiy, Assulam, almallawiy,
Qawaidul Arabiyah, Syarhul Hikam, alhusunul Hamidiyah, Muhtarul Ahadits,
Miftahul Hitabah, Baafaddal, arrudiy, dan lain-lain.
Riwayat
Pekerjaan :
- Guru MAI 1946
- Penerangan Agama Polisi 1955
- Mengarang beberapa buku :
·
Cara-cara sembahyang
·
Doa Penting
·
Wasiyah Berharga
·
Terjemah Al-Qur'an dalam tempo 1 tahun
2 bulan 2 hari. 30 Jus
·
Sembahyang Jamaah
·
Sejarah KH. Muhammad As'ad
·
Waqaf
·
Wasiat
- Guru Agama Honorer di SD 1954/1959
- Wakil Ketua PA Sengkang 1984, 1960
- Guru Pengajian / Pesantren :
·
Masjid Jami Sengkang 1948
·
Masjid Raya Sengkang 1956
·
Masjid Lompo 1960
·
Masjid Nurul As'adiyah Callaccu 1960 d
·
Dan beberapa mesjid di ujung pandang
1984 / 1987, antara lain :
- Nurul Amal
- Fatimah
- Ittiha Adul
Jamaah
- Ar-Rahman
- Al-Wahyu
- Nurul Mustaqiem
- Mesjid Raya
Ujung Pandang
- At-Taqwa.
- Guru Agama Negeri Depag Kabupaten Wajo 1959 / 1986.
Tahun 1963 mengikuti seminar
pembangunan di sungguminasa , saat itu juga ikut seminar Pondok Pesantren se Indonesia di Yogyakarta
Depag RI
Tahun 1985 ikut seminar benda-benda
sejarah ciri agama dan seminar terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis di ujung
Pandang diselenggarakan oleh Badan
Penelitian Laktur Keagamaan Ujung Pandang.
Sengkang, 20 Desember 1980-an
Penulis
(KH. Hamzah
Manguluang)
Judul Buku : "Riwayatku dan Riwayat Guru Besar Ky.H.M.
As'ad"
Tulisan ini di ketik ulang oleh Muh Nurdin Zainal
F. Prof H. Abdu Rahman Musa
Nama :
Ttl :
Pendidikan :
Pernah sekolah di IAIN Jogja
Pekerjaan :
Dosen di Stai
Wakil ketua dan ketua stai 2000-2003 dan
pengurus PB
Mohon dicermati dari p jawa majapahit trowulan 1378 menuju sulawesi selatan bahwa la madu silla diislamkan th 1378 sd 1380 n diberi nama islam salat jadi fardhu shalat n lamadusilla salat jdi lamdu salat oleh syeikh thanauddin n sulsel jd bernama gowa bajo n bugis makasar sedang syeikh jamaludin akbar ke aceh pd puteri rahmawati di biereun aceh pasai kerajaan juempa keluarga tun ibrahim bapa cucu malikushsholih
BalasHapusCermati tulisan diatas kh s jamaluddin assegaf mengambil tulisan mufti fatani yg tidak dinyatakan siapa yg mengislamkan jadi kh s jamaludin mereka2 n alm gusdur dg 147 org nu meng ada2 menyamakan jumadil kubro ibunya anak nizamul mulk n jamaludin akbar ibunya wanita uzbekistan jelas salah dimana kuburan dimasjid 1621 itu kuburan th 1673 yg jamaludin versi anda wafat 1453 jd 1673- 1453=220tahun jarak penguburan tidaklah mungkin pendekar jamaludin tanpa murid at wali tanpa penganut contoh kuburan nabi n wali tiada begitu n bangunan tua batu jika perekat telur itu arsitek th 16an n argumentasi kalian itu ulama persia syiah imamiyah(mungkin kuburan di sawwito)sayyid jamaluddin husein th 1453 diberi gelar oleh kalian al akbar n husein jumadil kubro sbg cicit tapi th 1318 diberi gelar sughro itu data gowa nama wajo th 1447 sebelumnya bajo atau bajau
BalasHapusSelain islam priode pertama th 1378 1380 pengislam bajo/wajo raja bajo dari lampung duta syeikh jamaludin akbar nama dg gelar puang ri lampulungen at pua(puan)ri lampungin n kini kampung sae bawi bhs lampung sai bawi kamus=pua ghi pimpinan persaudaraan n sai satu bawi itu waghi atau be waghi indonesia satu saudara at satu bersaudara
BalasHapusItu th 1390
BalasHapusKer champa imperium lampung sriwijaya islam aku belum pastikan cinatobi itu champa kampuchia n Muallaf prof martin v bruinessen telah meralat n ada emailnya padaku n aseli hal tentang jamaludin akbar tidak ada dibabad jawa maupun lontara sulawesi n hikayat jamaludin akbar adanya mulai abad 20 pertengahan lebih menurutku sejak kh s jamaludin assegaf membuat cerita yg dikutip juga oleh shohibulfaroji azmatkhan
BalasHapusSayyid jamaludin husein jika itu aseli umur 1452-1310=142 tahun dg cerita kalian dr aceh majapahit n cucunya walisongo tentu marah n apa mungkin u 142 birahi nikah nb.sayyid jamaludin husein dari persia bisa jd anak thanaudin ibu org gowa at ibu kelantan at salah satu cucu at anak muhammad jumadilkubto bin jamaludin akbar nb.itu dulu yg kutulis amien
BalasHapus