Selasa, 01 April 2014

Makalah gender



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat sehingga perlu diaplikasikan (QS. 28:77) sebab pendidikan memiliki nilai teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat.
Dalam dekade terakhir ini, upaya penyadaran gender menjadi perbincangan serius di kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci. Dari sinilah kami akan mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai kesetaraan gender dalam bidang pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana konsepsi Gender dalam Pandanga Islam?
b.      Bagaimana fenomena dan Bentuk-bentuk Bias Gender dalam Pendidikan Islam?
c.       Bagaimana faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Bias Geder dalam Pendidikan Islam?
d.      Bagaimana pendidikan Berbasis Gender dan Model Pendidikan Islam non Formal Berbasis Gender?




BAB II
PEMBAHASAN
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan[1]. Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja[2].
Sedangkan gender, secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin .[3] Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat[4].
Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma Gender[5] mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki.. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.

A.     Konsepsi Gender dalam Pandanga Islam
Alqur’an merupakan informasi dan perintah dari syariat yang disampaikan melalui media khusus kepada Nabi Muhammad saw sebagai manusia pertama penerima wahyu (Alqur’an) kemudian disampaikan kepada umat untuk kemaslahatan manusia agar dapat membentuk realitas budaya di bawah pancaran Alqur’an. Umat Islam dimanapun berada meyakini kebenaran Alqur’an dan menjadikannya pedoman hidup mereka yang berfungsi sebagai frame yang membingkai mereka dalam beribadah dan bermuamalah. Mereka percaya bahwa ajaran Alqur’an mengandung ajaran yang bersifat universal berlaku dimana saja melewati batas-batas suku, wilayah, bahasa dan budaya sehingga dikatakan shalih likulli zamaan wa makaan. Klaim universalitas disini sifatnya teologis-doktrinatif yang diyakini oleh umat Islam. Artinya secara empiris ajaran Alqur’an adalah ajaran particular  yang dianut oleh umat Islam saja bukan seluruh umat mausia secara universalkarena pemeluk agama lain mungkin mempunyai klaim yang sama. Konteks ini jika dilihat dari aspek sosiologis terkait erat denga apa yang dikatakan oleh bourdie bahwa dunia tanpa batas ruang dan waktu.
Alqur’an datang sebagai tali penghubung antara pencipta dengan manusia dan antara manusia dengan manusia serta antara manusia dengan alam. Alqur’an juga mengajarkan jalan keselamatan menuju kehidupan akhir. Oleh karea itu, Alqur’an menjadi referensi utama bagi umat Islam dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Jika ada hal yang tidak dijelaskan dalam Alqur’an, maka umat merujuk pada penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad saw berupa perkataan, perbuatan dan takrirnya yang disebut dengan hadits.

Mengigat peran dan fungsi strategis yang dimiliki oleh Alqur’an, maka ia harus mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan kekinian dan akan datang agar dapat member problem solving kepada umat terutama kaum awam. Dengan begitu, interpretasi-interpretasi kontekstual sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan dan persoalan keumatan yang semakin kompleks yang kadang kala masih terpaku pada interpretasi normative-tekstual.

Di antara persoalan yang dihadapi oleh Alqur’an dan harus diberi way out adalah masalah gender serta ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan terutama adanya anggapan bahwa agama sebagai biang keladi ketidakadilan gender itu, juga agama dijadikan sebagai justifikasi dalam membedakan antara laki-laki dan perempuan. Namun, apabila diteliti secara cermat justru Alqur’an justru Alqur’an dapat memberikan penjelasan lebih detail, tajam dan mendalam.
Para intelektual muslim mengajuan serta mengemukakan bagaimana cara memberi reinterpretasi  segar terhadap ajaran Alqur’an yang bersih dari bias unequal gender. Islam sangat diyakini oleh pengikutnya sebagai rahmatan lii ‘âlamîn (agama yang menebar rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seseorang di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas ketaqwaannya, tanpa membedakam ras, etnik dam jenis kelamin.
Alqur’an yang dijadikan pedoman dan landasan oleh para pemikir muslim dalam membincangkan dan menuntut keadilan gender berpandangan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah swt. tidak ada diferensiasi antara laki-laki dan perempuan. Allah berfirman:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Terjemahan :“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Q.S al-Hujurat:13)[6]

            Ayat diatas menjelaskan penciptaan laki-laki dan perempuan dari berbagai macam ras tanpa ada diferesiasi jenis kelamin. Satu-satunya yang bisa dianggap membedakan mereka satu dengan lainnya di hadapan Allah adalah kualitas kedekatannya. Siapa saja mempunyai hak yang sama untuk memperoleh nilai plus dari dua jenis kelamin tersebut. Dengan demikian, ayat diatas dijadikan patokan atau acuan normative dan kontekstual untuk memahami kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dari acuan ini, menurut Musda kita dapat mengatakan bahwa Alqur’an tidaklah member keutamaan terhadap jenis kelamin tertentu. Setiap orang, tanpa dibedakan jenis kelaminnya dan suku bangsanya, semuanya mempunyai potensi  yang sama untuk menjadi khalifah di muka bumi ini.

Apabila melihat sejarah pada zaman Rasulullah kaum perempuan digambarkan menjadi perempuan yang aktif, sopan dan bebas tapi tetap terpelihara akhlaknya. Bahkan, dalam Alqur’an, figure ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang mampu dan mempunyai kompetensi di bidang politik seperti figure ratu balqis yang memimpin sebuah kerajaan adikuasa juga kemampuan menentukan pilihan yang diyakini kebenarannya.

Al-Zamaksyariy berpendapat bahwa maksud dzakarin wa untsã adalah laki-laki dan perempuan, tidak ada yang membedakannya terutama dari asal usulnya, maka tidak perlu ada yang merasa lebih diantara salah satu jenis kelamin. Sejalan dengan itu menurut Quraish Shihab, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi penciptaan dan kemanusiaan serta derajat untuk menunjukkam kebersamaan, kesederajatan dan kesetaraan dalam kehidupan memiliki hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan.[7]

sangat jelas ayat tersebut diatas mengisyaratkan bahwa tidak ada keberagaman ciptaan Tuhan antara laki-laki dan perempuan karena diantara keduanya tidak ada diferensiasi antara sebagaimana dipertegas dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa: Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilanmu juga tidak kepada hartamu, tetapi Allah (menilai) hatimu dan amalmu.
Hadits diatas sejalan dengan firman Allah dalam surah al-Isra’ yang berbunyi:
 ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Terjemahan: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (Q.S al Isra’: 70)

            Kata Bani Adam dalam ayat diatas menunjukkan semua cucu nabi adam tanpa ada perbedaan jenis biologis sehingga tidak ada keutamaan yang ditunjukkan oleh Alqur’an tentang jenis kelamin seseorang atau karena bangsa tertentu ataupun karena daerah, suku, agama dan keturunannya.
Kemudian kapasitas manusia sebagai khalifah  di bumi yang mencakup tugas untuk memakmurkan bumi kepada siapa saja yang mendapat gelar khalifah. Allah berfirman:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ......

Tejemahan: ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."....(al-Baqarah:30)

Kata khalifah pada ayat diatas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok entis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas dan fungsi yang sama sebagai khalifah yang harus mempertanggungjawabkan tugas-tugas di muka bumi ini sebagaimana mereka bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
Dalam beberapa ayat disebutkan beberapa kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki seperti sebagai pelindung, penerima warisan, saksi yang efektif, diizinkan berpoligami dengan beberapa syarat tertentu. Akan tetapi, kelebihan tersebut yang tercantum dalam Alqur’an dalam kapasitasnya sebagai bagian dari masyarakat sosial dan tidak menjadikannya sebagai hamba utama. Kapasitas sebagai hamba baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan penghargaan yang didasarkan pada pengabdian dan usahanya bukan karena jenis kelaminnya, suku, agama dan budayanya, melainkan ketaqwaan kepada Tuhannya. Allah berfirman:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ

Terjemahan: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik  dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”. (Q.S an-Nahl: 90)

Seorang ulama bernama Asgar Ali memberikan pendapat bahwa ayat diatas sama sekali tidak melakukan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal apapun, keduanya dijanjikan memperoleh balasan setimpal sesuai hasil usahanya.

B.     Fenomena dan Bentuk-bentuk Bias Gender dalam Pendidikan Islam
a.    Fenomena Bias Gender dalam Pendidikan Islam
Sebelum membahas fenomena bias gender dalam pendidikan Islam, maka terlebih dahulu  diuraikan bentuk-bentuk bias gender dalam konteks keindonesiaan. di di dalam (GBHN) Garis-Garis Besar Haluan Negara meskipun tidak secara implicit menjelaskan tentang pendidikan. Namun, terdapat tiga pokok kebijakan yaitu:
-       Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan.
-       Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum umtuk melayani keragaman peserta didik.
-       Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan system pendidika yang efektif dan efisien dalam menghadapi dan seni.
Fenomena bias gender dalam pendidikan Islam termasuk di dalamnya pendidikan secara umum, dapat dirujuk pada butir-butir kesenjangan yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Nasional Pada Tahun 2005 yaitu:
-       Kesenjangan dalam perolehan kesempatan pendidikan menurut gender pada setiap pendidikan tahun 1998 berupa polanya dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu. Jika pada tahun 1969 keadaan menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar perbedaan menurut gender, maka pada tahun 1998 keadaan menjadi sedikit berbeda. Kesenjangan dalam rangka pertisipasi terbesar justru di Sekolah Dasar dan Perguruan tinggi, sementara itu, kesenjangan dalam angka partisipasi lebih kecil pada SLTP dan SMU.
-       Sejumlah fenomena menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran terjadi bias gender. Laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang menentukan misalnya dalam menentukan misalnya dalam ketua kelas, pemimpin organisasi siswa, memimpin diskusi kelompok, bertanya dan mengemukakan pendapat dan lain-lain.
-       Laki-laki juga banyak mengambil posisi yang lebih menentukan dalam pengelolaan pendidikan baik dalam birokrasi pendidikan di daerah maupun dalam pengelolaan satuan pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya laki-laki yang menduduki jabatan structural mulai dari tingkat pusat maupun tingkat daerah. Meskipun Undang-Undang tentang Otonomi Daerah mulai diberlakukan, tetapi posisi strategis masih dipegang oleh laki-laki.
-       Meskipun angka partisipasi lebih rendah, perempuan lebih mampu bertahan dibandingkan laki-laki. Demikian pula dari segi kesabaran, ketekunan dan ketelatenan dalam mengikuti pelajaran, perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, tetapi dalam pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki. Fenomena ini menjadi fenomena bias gender yang telah berjalan lama.
Dalam pendidikan Islam apabila diamati secara seksama dalam posisi Dikti Islam selama ini baru sekali dipegang oleh perempuan yaitu Rektor UIN, IAIN dan ketuan ketua STAIN se Indonesia jumlahnya satu atau dua orang perempuan. Untuk pendidikan model pesantren masih sedikit Nyai sebagai pengasuh pesantren yang terdapat dua komunitas laki-laki dan perempuan, kecuali pesantren putrid dan kadangkala juga diasuh oleh laki-laki.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional membuktikan terjadinya bentuk-bntuk bias gender dalam bidang pendidikan, seebagaimana di awal pembahasan dalam sub fenomena bias gender dalam biang pendidikan Islam juga termasuk di dalamnya pendidikan yang notabene dikelola oleh kementrian Agama RI.
b.    Bentuk-bentuk Bias Gender dalam Pendidikan Islam
Bentuk-bentuk bias gender dalam pendidikan Islam semakin terlihat dalam  pengelompokkan gender kedalan jurusan bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda menurut jenis kelamin. Gejala ini berrdampak buruk pada kompetisi yang kurang sehat dalam hubungan antar gender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak akan dikembangkan secara optimal.
Menurut Musda Mulia, pendidikan Islam khususnya pendidikan di pesantren, dikenal dengan pendidikan yang menganut system otoriter. Guru atau Ustadz umumnya diberlakukan sebagai sosok yang harus dihormati sehingga tidak pantas dikritik. Fatalnya, mengajukan pertanyaan sering dimaknai sebagai memberi kritik. Hubungan antarguru dan peserta didik selalu berjarak seperti hubungan bawahan dan atasan. Lebih parah lagi pengkultusan kepada guru atau kyai mentradisi pada sebagian institusi pendidikan yang berbasis pesantren seperti seorang santri meminum air sisa sang kyai untuk mendapatkan berkah dan ilmunya seperti sang guru. Padahal kalau malas belajar tidak mungkin akan menyerupai gurunya.
Selain yang disebutkan diatas, maka bentuk lain dari bias gender dalam pendidikan Islam menurut Acep Suryadi meliputi:
-       Kaum laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan dan ketrampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industry sehingga dengan ketrampilan kejuruan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-olah secara khusus dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam bidang produksi. Sementara itu, permpuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu misalnya ketatausahaan dan teknologi kerumahtangganan.
-       Jumlah perempuan yang memiliki jurusan IPA atau Matematika di SMU lebih kecil proporsinya sehiingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai bidang teknologi  dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Pada kedua jenis jurusan keahlian itu, proporsi perempuan hanya mencapai 19,8 %. Di lain pihak perempuan lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan dalam bidang manajemen (57,7 %), pelayanan jasa dan transportasi (64,2 %), bahasa dan sastra (58,6 %) serta psikologi (59,9 %).
-       Pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) perempuan lebih dominan pada program diploma yang menyiapkan program guru SLTP kebawah (68,2 %) dan program sarjana yang menyiapkan guru sekolah menegah (55,7 %). Gejala ini menunjukkan perempuan yang lebih banyak dipersiapkan untuk menjadi guru pendidikan dasar dan menengah. Keadaan ini juga ditunjukkan dengan jumlah dari seluruh guruh TK sampai SMU, proporsi perempuan lebih besar lebih besar (50,8 %) daripada jumlah guru laki-laki (49,2 %). Sebaliknya tenaga tenaga dosen didominasi oleh laki-laki dengan proporsi 70 % pada berbagai tingkat jabatan dosen di PT dan semakin tinggi jabatan dosen semakin kecil proporsi perempuannya. Hampir semua keahlian PNS dipegang oleh laki-laki kecuali keahlian dibeberapa bidang seperti farmasi (57,7 %), biologi (47,9 %), bahasa dan sastra (45 %) dan psikologi (61,1 %)..
Dalam konteks ini dipahami bahwa data yang dikemukakan oleh Ace membuktikan masih terjadinya bias gender dalam pendidikan karena untuk mendapatkan tingkat posisi sebagai pengambil keputusan sangat ditentukan oleh pendidikan seseorang dalam promosi jabatan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendiddikan seseorang  (perempuan), maka jabatan yang dipegang oleh perempuan semakin banyak, tetapi kenyataan menunjukkan belum signifikan antara tingkat pendidikan dan jabatan yang dipegang oleh perempuan.

C.     Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Bias Geder dalam Pendidikan Islam
a.    Faktor Penyebab Bias Geder dalam Pendidikan Islam
            factor-faktor penyebab bias gender dapat dikategorisasikan ke dalam tiga aspek yaiti partisipasi, akses dan control. Namun tidak semua aspek yang disebutkan dapat dipaksakan untuk menjelaskan masing-masing bias gender yang terjadi secara empiris dalam bidang pendidikan. Dengan kata lain, factor-faktor penyebab bias gender akan sangat tergantung dari situasinya masing-masing.
            Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan adalah:
-       Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh factor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relative merata. Faktor-faktor structural ini diantaranya adalah nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan anak laki-laki dianggap lebih penting dibandingkan pendidikan anak perempuan. Factor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak laki-laki.
-       Pada tingkat SLTP/Tsanawiyah dan SMA/Madrasah Aliyah perbedaan angka partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan terutama di daerah-daerah pedesaan dan luar jawa. Factor penyebab bias gender  pada tingkat SLTP keatas relative lebih kecil dipengaruhi oleh nilai-niali sosial budaya dan ekonomi keluarga karena siswa dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial dan ekonomi tingi sudah lebih besar proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan distribusi sumber- sumber pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi masih menjadi factor penting untuk mengurangi bias gender dalam pendidikan.
adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bias gender yang berhubungan dengan akses dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:
-       Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena akses perrempuan juga masih dirasakan rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan. Proporsi kepada sekolah perempuan secara konsisten masih kecil dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang penddidikan. Perempuan pemegang jabatan struktural dari tingkatan strategis sampai tingkatan operasional jauh lebih rendah dari laki-laki. Oleh Karen itu, banyak kebijakan pendidikan kurang sensitif gender, yang akan berdampak luas terhadap berbagai dimensi bias gender dalam bidang pendidikan.
-       Laki-laki lebih dominan mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran cenderung bias laki-laki. Fenomena ini dapat diamati dari buku-buku pelajaran yag sebagian besar penulisnya adalah laki-laki. Penulis buku laki-laki sangat dominan.
-       Isi buku yang membahas status perempuan dalam masyarakat akan banyak member pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. Muatan dari sebagian buku-buku pelajaran (khususnya IPS, PPKN dan Pendidikan Jasmani, Bahasa dan Sastra Indonesia, Kesenian dan sejenisnya) yang berhasil diamati cenderung kurang berwawasan gender khususnya berkaotan dengan konsep keluarga atau peran perempuan dalam keluarga yang telah lama dipengaruhi oleh cara berfikir tradisonal, bahwa laki-laki adalah pemegang fungsi produksi sedangkan perempuan pemegang fungsi reproduksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bias gender dalam bidang kurangnya kontrol kebijakan pendidikan adalah:
-       Faktor kesenjangan antara gender dalam bidang pendidikan jauh lebih dominan laki-laki. Khususnya dalam bidang birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keadaan ini akan semakin bertambah parah jika para pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan ttersebut tidak memiliki sensivitas gender.
-       Khusus pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut system seleksi dalam bidang pendidikan. Control dalam penerimaan karyawan terutama di sektor swasta sangat dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik milik pemerintah maupun swasta maka salah satunya harus memilih untuk keluar dan biasanya perempuanlah yang memilih keliuar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam pendidikan.
-       Faktor struktural yakni yang menyangkut nilai sikap, pandangan dan perilaku masyarakat secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan. Seperti pekerjaan perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena perempuan dianggap hanya memilih fungsi-fungsi produksi (reproductive function). Laki-laki dianggap lebih berperan sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga (productive function) sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian teknologi dan industri.
-       Pendidikan Islam yang konstruktif merupakan salah satu pendidikan melalui pembelajaran induktif, yang berarti mengangkat nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan yang hanya hanya memperkuat hafalan apabila hafalan itu hilang maka tidak punya apa-apaa lagi. Maka diperlukan pandidikan yang demokratis yaitu peserta didik diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, menyampaikan opini dan mengekspresikan kemampuan nalar maka akan melahirkan komunitas intelektual yang cendekiawan.
faktor lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah mincul persaingan dengan teknologi yang menggatikan peranan pekerja perempuan dengan mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah.
b.    Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Bias Geder dalam Pendidikan Islam
Adapun upaya dalam mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
-       Reinterpretasi ayat-ayat Alqur’an dan hadits yang bias gender, dilakukan secara continue agar ajaran agama tidak dijadikan alas an untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
-       Muatan kurikulum Nasional yang menghilangkan antara laki-laki dan perempuan, demikian pula dengan kurikulum lokal yang berbasis kesetaraan, keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai daringkat pendidikan kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi.
-       Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar muali dari tingkat kelurahan sampai pada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
-       Pemberdayaan di sektor ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industri rumah tangga (home industri) dengan demikian perlahan-lahan akan menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Karena salah satu alas an terjadinya marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki
-       Pendidikan politik kepada perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilangkan melek politik bagi perempuana. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya milik laki-laki, dan politik itu adalah kekerasan padahal sebaliknya politik adalah seni untuk mencapai kekuasaan. Dengan demikian, kuota 30 % sesuai dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi mengingat pemilih terbanyak adalah perempuan.
-       Pemberdayaan di sektor keterampilan (skill) baik keterampilan untuk kebutuhan rumah tangga, maupun yang memiliki nilai jual harus ditingkatkan terutama kaum perempuan di pedesaan agar terjadi keseimbangan antara perempuan perkotaan dengan kaum perempuan yang tinggal di pedesaan dan memiliki keterampilan yang relatif tinggi.
-       Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amanah UU KDRT.

D.    Pendidikan Berbasis Gender dan Model Pendidikan Islam non Formal Berbasis Gender
a.    Pendidikan Berbasis Gender
Pendidikan sebagai upaya penyadaran terhadap semuan unsure termasuk di dalamnya adalah perempuan dan laki-laki harus berperan dalam menumbuhkembangkan kesadaran terutama perempuan untuk menuntut hak-haknya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Demikian perjuangan RA. Kartini untuk keluar dari tradidi keraton menjadikan beliau sebagai parementer perjuangan kaum perempuan Indonesia. Meskipun harus diakui bahwa RA. Kartini adalah bagian keluarga berjouis namun peduli terhadap pendidikan kaum perempuan, sebagaimana dalam bukunya yang berjudul “ Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini memberikan inspirasi, motivasi dan spirit perjuangan perempuan untuk mengenyam pendidikan. Namun demikian, pendidikan yang dilakukan RA. Kartini dengan sistem pendidikan dalam rumah karena pada zamannya perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah dan RA. Katini masih mengikuti tradisi keraton. Pada awal 1990-an kartini memberontak melalui refleksi tulisan misalnya mengapa perempuan tidak diberi kesempatan sama seperti laki-laki untuk mengembangkan intelektualitas dan berkiprah dalam masyarakat.
Kondisi dewasa ini gender dalam pendidikan semakin “membaik” meskipun masih terdapat anggapan yang mengatakan bahwa perempuan yang berkiprah di sektor publik akan meninggalkan pekerjaanya sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh, membimbing dan memelihara anak.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan tampak sekali terjadi pada saat mahasiswa laki-laki dan perempuan sibuk untuk melakukan aktifitas sosial dan bahkan politik. Misalnya dalam sebuah rapat, diskusi dan seminar tercipta suasana kesetaraan, kesederajatan antara pembicara laki-laki dan perempuan, keduanya bisa berpendapat dan melontarkan ide-ide atau gagasan.

Selanjutnya, proses pembelajaran dalam pendidikan yang berbasis gender merupakan bagian terpenting dari eksistensise sekolah. Proses ini menjadi transfer dari berbagai misi yang diemban oleh institusi pendidikan. Oleh karena itu, subtansi dari pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui transformation of knowledge kepada peserta didik sebagai subjek sekaligus objek pendidikan.
b.    Model Pendidikan Islam non Formal Berbasis Gender
Sejak era tahun 1980-an pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam non-formal yang dikelolah oleh masyarakat di luar sekolahtampak cukup berkembang seperti jamur tumbuh di musim hujan. Fenomena pendidikan non-formal ditandai dengan munculnya Taman Pemdidikan Alqur’an (TPA), Taman Kanak-kanak Alqur’an, Madrasah Diniyah, majelis Taklim dan bentuk-bentuk pengajian keagamaan Islam lainnya. Misalnya, majelis taklim sebagai model pendidikan non-formal, tampak memiliki kekhasan tersendiri dalam model pembelajaran. Apabila dilihat dan didengar dari segi nama, jelas sangat popular terutama komunitas perempuan. Meskipun namanya majelis taklim berbahasa Arab namun di tanah kelahiran Islam mungkin belum ada majelis taklim yang khusus diikuti oleh perempuan paruh baya.

Pendidikan non-formal ini telah berkembang jauh sebelum pendidikan formal dilembagakan oleh pemerintah. Munculnya pendidikan formal tidak berarti pendidikan non-formal lenyap atau kehilangan peran, justru muncul dimana-mana dengan bentuk dan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Gender dalam pendidikan Islam sudah ada bahkan dalam konteks dasar hukum Islam yakni Alqur’an menejelaskan dan memberikan beberapa contoh antara kesetaraan hak laki-laki dan perempuan meskipun tetap ada yang memang perempuan tidak ikut serta. Namun hal demikian memang sudah merupakan kodrat bagi perempuan. Seperti Nabi dan Rasul
B.     Saran
Dalam pembahasan atau penulisan makalah ini penulis masih sangat terbatas pengetahuannya tentang  materi yang diangkat sehingga sudah pasti masih terdapat kekurangan sehingga penulis sangat terbatas dalam mengambil referensi yang relefan dengan pokok bahasan.


DAFTAR PUSTAKA


Alqur’an dan Terjemahannya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushab al-Syarif, 1415 H.)

Echol Jhon M., dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23

Faqih  Mansour, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
Faqih Mansour, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

http//haqfaisol.files.wordpress.com

Mufidah Ch, Paradigma Gender,  (Malang: Bayumedia Publishing, 2003)
Shihab Quraish, Tafsir al-Mishbah,: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, Jilid II, cet. I (Jakarta: Lentera Hati), 2000

Umar Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001


[1]  Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001, hal. 1.
[2] Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hal.8.
[3] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a
[4]  Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
[5] Mufidah Ch, Paradigma Gender,  (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 4-6.
[6] Alqur’an dan Terjemahannya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushab al-Syarif, 1415 H.), h. 847.
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, Jilid II, cet. I (Jakarta: Lentera Hati), 2000, h. 299-300.