BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi
suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan
taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok
dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus
penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari
kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat
sehingga perlu diaplikasikan (QS. 28:77) sebab pendidikan memiliki nilai
teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya,
proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini
harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa
pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama,
setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh
karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti
jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi
faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir
semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai
pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi
faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang
belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi
ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala
sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan
institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan
melestarikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai
ketimpangan gender dalam masyarakat.
Dalam
dekade terakhir ini, upaya penyadaran gender menjadi perbincangan serius di
kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan
maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan
tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap
dimensi kunci. Dari sinilah kami akan mencoba memberikan sedikit penjelasan
mengenai kesetaraan gender dalam bidang pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana konsepsi Gender dalam Pandanga
Islam?
b. Bagaimana
fenomena dan Bentuk-bentuk Bias Gender dalam Pendidikan Islam?
c. Bagaimana
faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Bias Geder dalam
Pendidikan Islam?
d. Bagaimana
pendidikan Berbasis Gender dan Model Pendidikan Islam non Formal Berbasis
Gender?
BAB II
PEMBAHASAN
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah
memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam
memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap
menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah
ketidakadilan sosial.
Seks
adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis
dan merupakan kodrat Tuhan[1].
Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau
pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan
bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan
tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja[2].
Sedangkan gender,
secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis
kelamin .[3]
Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh
perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh
laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan
perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis
sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena
itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar
kelas sosial ekonomi masyarakat[4].
Dalam
batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang
melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau
diperoleh.
Mufidah dalam
Paradigma Gender[5]
mengungkapkan bahwa pembentukan gender
ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh
interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki
dan perempuan.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam
menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan
tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter.
Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai
perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan
perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada
perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki.. Hanya saja, yang
dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka
perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan
gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial,
terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong
perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen
kehidupan sosial.
A. Konsepsi Gender dalam Pandanga
Islam
Alqur’an
merupakan informasi dan perintah dari syariat yang disampaikan melalui media
khusus kepada Nabi Muhammad saw sebagai manusia pertama penerima wahyu (Alqur’an)
kemudian disampaikan kepada umat untuk kemaslahatan manusia agar dapat
membentuk realitas budaya di bawah pancaran Alqur’an. Umat Islam dimanapun
berada meyakini kebenaran Alqur’an dan menjadikannya pedoman hidup mereka yang
berfungsi sebagai frame yang membingkai mereka dalam beribadah dan bermuamalah.
Mereka percaya bahwa ajaran Alqur’an mengandung ajaran yang bersifat universal
berlaku dimana saja melewati batas-batas suku, wilayah, bahasa dan budaya
sehingga dikatakan shalih likulli zamaan wa makaan. Klaim universalitas disini
sifatnya teologis-doktrinatif yang diyakini oleh umat Islam. Artinya secara
empiris ajaran Alqur’an adalah ajaran particular yang dianut oleh umat Islam saja bukan
seluruh umat mausia secara universalkarena pemeluk agama lain mungkin mempunyai
klaim yang sama. Konteks ini jika dilihat dari aspek sosiologis terkait erat
denga apa yang dikatakan oleh bourdie bahwa dunia tanpa batas ruang dan waktu.
Alqur’an
datang sebagai tali penghubung antara pencipta dengan manusia dan antara
manusia dengan manusia serta antara manusia dengan alam. Alqur’an juga
mengajarkan jalan keselamatan menuju kehidupan akhir. Oleh karea itu, Alqur’an
menjadi referensi utama bagi umat Islam dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari. Jika ada hal yang tidak dijelaskan dalam Alqur’an, maka umat
merujuk pada penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad saw berupa perkataan,
perbuatan dan takrirnya yang disebut dengan hadits.
Mengigat
peran dan fungsi strategis yang dimiliki oleh Alqur’an, maka ia harus mampu
menjawab tantangan dan persoalan-persoalan kekinian dan akan datang agar dapat
member problem solving kepada umat
terutama kaum awam. Dengan begitu, interpretasi-interpretasi kontekstual sangat
dibutuhkan untuk menjawab tantangan dan persoalan keumatan yang semakin
kompleks yang kadang kala masih terpaku pada interpretasi normative-tekstual.
Di
antara persoalan yang dihadapi oleh Alqur’an dan harus diberi way out adalah
masalah gender serta ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan
terutama adanya anggapan bahwa agama sebagai biang keladi ketidakadilan gender
itu, juga agama dijadikan sebagai justifikasi dalam membedakan antara laki-laki
dan perempuan. Namun, apabila diteliti secara cermat justru Alqur’an justru Alqur’an
dapat memberikan penjelasan lebih detail, tajam dan mendalam.
Para
intelektual muslim mengajuan serta mengemukakan bagaimana cara memberi
reinterpretasi segar terhadap ajaran Alqur’an
yang bersih dari bias unequal gender. Islam sangat diyakini oleh pengikutnya
sebagai rahmatan lii ‘âlamîn (agama yang menebar rahmat bagi alam
semesta). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan terhadap keutuhan
kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seseorang
di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas ketaqwaannya, tanpa membedakam ras,
etnik dam jenis kelamin.
Alqur’an
yang dijadikan pedoman dan landasan oleh para pemikir muslim dalam
membincangkan dan menuntut keadilan gender berpandangan bahwa semua manusia
diciptakan oleh Allah swt. tidak ada diferensiasi antara laki-laki dan perempuan.
Allah berfirman:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Terjemahan :“Hai manusia, Sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”.(Q.S al-Hujurat:13)[6]
Ayat diatas menjelaskan penciptaan
laki-laki dan perempuan dari berbagai macam ras tanpa ada diferesiasi jenis
kelamin. Satu-satunya yang bisa dianggap membedakan mereka satu dengan lainnya
di hadapan Allah adalah kualitas kedekatannya. Siapa saja mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh nilai plus dari dua jenis kelamin tersebut. Dengan
demikian, ayat diatas dijadikan patokan atau acuan normative dan kontekstual
untuk memahami kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dari acuan ini, menurut
Musda kita dapat mengatakan bahwa Alqur’an tidaklah member keutamaan terhadap
jenis kelamin tertentu. Setiap orang, tanpa dibedakan jenis kelaminnya dan suku
bangsanya, semuanya mempunyai potensi yang
sama untuk menjadi khalifah di muka
bumi ini.
Apabila
melihat sejarah pada zaman Rasulullah kaum perempuan digambarkan menjadi
perempuan yang aktif, sopan dan bebas tapi tetap terpelihara akhlaknya. Bahkan,
dalam Alqur’an, figure ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang
mampu dan mempunyai kompetensi di bidang politik seperti figure ratu balqis
yang memimpin sebuah kerajaan adikuasa juga kemampuan menentukan pilihan yang
diyakini kebenarannya.
Al-Zamaksyariy
berpendapat bahwa maksud dzakarin wa untsã adalah laki-laki dan perempuan,
tidak ada yang membedakannya terutama dari asal usulnya, maka tidak perlu ada
yang merasa lebih diantara salah satu jenis kelamin. Sejalan dengan itu menurut
Quraish Shihab, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi
penciptaan dan kemanusiaan serta derajat untuk menunjukkam kebersamaan,
kesederajatan dan kesetaraan dalam kehidupan memiliki hak dan kewajiban yang
sama antara laki-laki dan perempuan.[7]
sangat
jelas ayat tersebut diatas mengisyaratkan bahwa tidak ada keberagaman ciptaan
Tuhan antara laki-laki dan perempuan karena diantara keduanya tidak ada
diferensiasi antara sebagaimana dipertegas dalam hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa: Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw.
telah telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilanmu juga
tidak kepada hartamu, tetapi Allah (menilai) hatimu dan amalmu.
Hadits
diatas sejalan dengan firman Allah dalam surah al-Isra’ yang berbunyi:
ôs)s9ur
$oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä
öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$#
óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2
ô`£JÏiB
$oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Terjemahan: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak
Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (Q.S al Isra’: 70)
Kata Bani Adam dalam ayat diatas menunjukkan semua cucu nabi adam tanpa
ada perbedaan jenis biologis sehingga tidak ada keutamaan yang ditunjukkan oleh
Alqur’an tentang jenis kelamin seseorang atau karena bangsa tertentu ataupun
karena daerah, suku, agama dan keturunannya.
Kemudian
kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi yang mencakup tugas untuk memakmurkan
bumi kepada siapa saja yang mendapat gelar khalifah.
Allah berfirman:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y`
Îû ÇÚöF{$#
ZpxÿÎ=yz ......
Tejemahan: ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi."....(al-Baqarah:30)
Kata
khalifah pada ayat diatas tidak
menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok entis tertentu.
Laki-laki dan perempuan mempunyai tugas dan fungsi yang sama sebagai khalifah yang harus
mempertanggungjawabkan tugas-tugas di muka bumi ini sebagaimana mereka
bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
Dalam
beberapa ayat disebutkan beberapa kekhususan yang diperuntukkan kepada
laki-laki seperti sebagai pelindung, penerima warisan, saksi yang efektif,
diizinkan berpoligami dengan beberapa syarat tertentu. Akan tetapi, kelebihan
tersebut yang tercantum dalam Alqur’an dalam kapasitasnya sebagai bagian dari
masyarakat sosial dan tidak menjadikannya sebagai hamba utama. Kapasitas
sebagai hamba baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan penghargaan yang
didasarkan pada pengabdian dan usahanya bukan karena jenis kelaminnya, suku,
agama dan budayanya, melainkan ketaqwaan kepada Tuhannya. Allah berfirman:
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB
@2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Terjemahan: ”Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan Sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan”. (Q.S an-Nahl: 90)
Seorang
ulama bernama Asgar Ali memberikan pendapat bahwa ayat diatas sama sekali tidak
melakukan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal apapun,
keduanya dijanjikan memperoleh balasan setimpal sesuai hasil usahanya.
B. Fenomena dan Bentuk-bentuk Bias
Gender dalam Pendidikan Islam
a. Fenomena
Bias Gender dalam Pendidikan Islam
Sebelum
membahas fenomena bias gender dalam pendidikan Islam, maka terlebih dahulu diuraikan bentuk-bentuk bias gender dalam
konteks keindonesiaan. di di dalam (GBHN) Garis-Garis Besar Haluan Negara
meskipun tidak secara implicit menjelaskan tentang pendidikan. Namun, terdapat
tiga pokok kebijakan yaitu:
- Mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan pada setiap jenjang
pendidikan.
- Melakukan
pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum berupa diversifikasi
kurikulum umtuk melayani keragaman peserta didik.
- Meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk memantapkan system pendidika yang efektif dan efisien dalam
menghadapi dan seni.
Fenomena bias gender dalam pendidikan
Islam termasuk di dalamnya pendidikan secara umum, dapat dirujuk pada
butir-butir kesenjangan yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Nasional
Pada Tahun 2005 yaitu:
-
Kesenjangan
dalam perolehan kesempatan pendidikan menurut gender pada setiap pendidikan
tahun 1998 berupa polanya dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu. Jika pada
tahun 1969 keadaan menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin
besar perbedaan menurut gender, maka pada tahun 1998 keadaan menjadi sedikit
berbeda. Kesenjangan dalam rangka pertisipasi terbesar justru di Sekolah Dasar
dan Perguruan tinggi, sementara itu, kesenjangan dalam angka partisipasi lebih
kecil pada SLTP dan SMU.
- Sejumlah
fenomena menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran terjadi bias gender.
Laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang menentukan misalnya dalam
menentukan misalnya dalam ketua kelas, pemimpin organisasi siswa, memimpin
diskusi kelompok, bertanya dan mengemukakan pendapat dan lain-lain.
- Laki-laki
juga banyak mengambil posisi yang lebih menentukan dalam pengelolaan pendidikan
baik dalam birokrasi pendidikan di daerah maupun dalam pengelolaan satuan
pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya laki-laki yang menduduki
jabatan structural mulai dari tingkat pusat maupun tingkat daerah. Meskipun
Undang-Undang tentang Otonomi Daerah mulai diberlakukan, tetapi posisi strategis
masih dipegang oleh laki-laki.
- Meskipun
angka partisipasi lebih rendah, perempuan lebih mampu bertahan dibandingkan
laki-laki. Demikian pula dari segi kesabaran, ketekunan dan ketelatenan dalam
mengikuti pelajaran, perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, tetapi dalam
pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki. Fenomena ini menjadi fenomena
bias gender yang telah berjalan lama.
Dalam pendidikan Islam apabila diamati
secara seksama dalam posisi Dikti Islam selama ini baru sekali dipegang oleh perempuan
yaitu Rektor UIN, IAIN dan ketuan ketua STAIN se Indonesia jumlahnya satu atau
dua orang perempuan. Untuk pendidikan model pesantren masih sedikit Nyai
sebagai pengasuh pesantren yang terdapat dua komunitas laki-laki dan perempuan,
kecuali pesantren putrid dan kadangkala juga diasuh oleh laki-laki.
Hasil penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional membuktikan
terjadinya bentuk-bntuk bias gender dalam bidang pendidikan, seebagaimana di
awal pembahasan dalam sub fenomena bias gender dalam biang pendidikan Islam
juga termasuk di dalamnya pendidikan yang notabene dikelola oleh kementrian
Agama RI.
b. Bentuk-bentuk
Bias Gender dalam Pendidikan Islam
Bentuk-bentuk
bias gender dalam pendidikan Islam semakin terlihat dalam pengelompokkan gender kedalan jurusan bidang
kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda menurut jenis kelamin.
Gejala ini berrdampak buruk pada kompetisi yang kurang sehat dalam hubungan
antar gender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak akan
dikembangkan secara optimal.
Menurut Musda Mulia, pendidikan Islam
khususnya pendidikan di pesantren, dikenal dengan pendidikan yang menganut
system otoriter. Guru atau Ustadz umumnya diberlakukan sebagai sosok yang harus
dihormati sehingga tidak pantas dikritik. Fatalnya, mengajukan pertanyaan
sering dimaknai sebagai memberi kritik. Hubungan antarguru dan peserta didik
selalu berjarak seperti hubungan bawahan dan atasan. Lebih parah lagi
pengkultusan kepada guru atau kyai mentradisi pada sebagian institusi
pendidikan yang berbasis pesantren seperti seorang santri meminum air sisa sang
kyai untuk mendapatkan berkah dan ilmunya seperti sang guru. Padahal kalau
malas belajar tidak mungkin akan menyerupai gurunya.
Selain yang disebutkan diatas, maka bentuk
lain dari bias gender dalam pendidikan Islam menurut Acep Suryadi meliputi:
-
Kaum
laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan dan
ketrampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industry sehingga dengan
ketrampilan kejuruan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-olah secara
khusus dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam bidang produksi. Sementara
itu, permpuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu misalnya
ketatausahaan dan teknologi kerumahtangganan.
- Jumlah
perempuan yang memiliki jurusan IPA atau Matematika di SMU lebih kecil
proporsinya sehiingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan
keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai bidang teknologi dan ilmu-ilmu eksakta lainnya. Pada kedua
jenis jurusan keahlian itu, proporsi perempuan hanya mencapai 19,8 %. Di lain
pihak perempuan lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan dalam
bidang manajemen (57,7 %), pelayanan jasa dan transportasi (64,2 %), bahasa dan
sastra (58,6 %) serta psikologi (59,9 %).
- Pada
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) perempuan lebih dominan pada
program diploma yang menyiapkan program guru SLTP kebawah (68,2 %) dan program
sarjana yang menyiapkan guru sekolah menegah (55,7 %). Gejala ini menunjukkan
perempuan yang lebih banyak dipersiapkan untuk menjadi guru pendidikan dasar
dan menengah. Keadaan ini juga ditunjukkan dengan jumlah dari seluruh guruh TK
sampai SMU, proporsi perempuan lebih besar lebih besar (50,8 %) daripada jumlah
guru laki-laki (49,2 %). Sebaliknya tenaga tenaga dosen didominasi oleh
laki-laki dengan proporsi 70 % pada berbagai tingkat jabatan dosen di PT dan
semakin tinggi jabatan dosen semakin kecil proporsi perempuannya. Hampir semua
keahlian PNS dipegang oleh laki-laki kecuali keahlian dibeberapa bidang seperti
farmasi (57,7 %), biologi (47,9 %), bahasa dan sastra (45 %) dan psikologi
(61,1 %)..
Dalam
konteks ini dipahami bahwa data yang dikemukakan oleh Ace membuktikan masih
terjadinya bias gender dalam pendidikan karena untuk mendapatkan tingkat posisi
sebagai pengambil keputusan sangat ditentukan oleh pendidikan seseorang dalam
promosi jabatan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendiddikan
seseorang (perempuan), maka jabatan yang
dipegang oleh perempuan semakin banyak, tetapi kenyataan menunjukkan belum
signifikan antara tingkat pendidikan dan jabatan yang dipegang oleh perempuan.
C. Faktor Penyebab dan Upaya
Penanggulangan Dampak Negatif Bias Geder dalam Pendidikan Islam
a. Faktor
Penyebab Bias Geder dalam Pendidikan Islam
factor-faktor penyebab bias gender
dapat dikategorisasikan ke dalam tiga aspek yaiti partisipasi, akses dan
control. Namun tidak semua aspek yang disebutkan dapat dipaksakan untuk
menjelaskan masing-masing bias gender yang terjadi secara empiris dalam bidang
pendidikan. Dengan kata lain, factor-faktor penyebab bias gender akan sangat
tergantung dari situasinya masing-masing.
Adapun faktor-faktor yang menjadi
penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap
jenjang pendidikan adalah:
- Perbedaan
angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Ibtidaiyah sudah mencapai titik
optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga
perbedaan semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan
ini lebih dipengaruhi oleh factor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan
SD sudah tersebar relative merata. Faktor-faktor structural ini diantaranya
adalah nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap
pendidikan anak laki-laki dianggap lebih penting dibandingkan pendidikan anak
perempuan. Factor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang
penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan
pendidikan untuk anak laki-laki.
- Pada
tingkat SLTP/Tsanawiyah dan SMA/Madrasah Aliyah perbedaan angka partisipasi
menurut gender lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang masih kekurangan
fasilitas pendidikan terutama di daerah-daerah pedesaan dan luar jawa. Factor
penyebab bias gender pada tingkat SLTP
keatas relative lebih kecil dipengaruhi oleh nilai-niali sosial budaya dan
ekonomi keluarga karena siswa dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial
dan ekonomi tingi sudah lebih besar proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan
distribusi sumber- sumber pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi masih
menjadi factor penting untuk mengurangi bias gender dalam pendidikan.
adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi bias gender yang berhubungan dengan akses dalam
proses pendidikan adalah sebagai berikut:
- Partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena akses
perrempuan juga masih dirasakan rendah dalam menempati jabatan-jabatan
birokrasi pemegang kebijakan. Proporsi kepada sekolah perempuan secara
konsisten masih kecil dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang
penddidikan. Perempuan pemegang jabatan struktural dari tingkatan strategis
sampai tingkatan operasional jauh lebih rendah dari laki-laki. Oleh Karen itu,
banyak kebijakan pendidikan kurang sensitif gender, yang akan berdampak luas
terhadap berbagai dimensi bias gender dalam bidang pendidikan.
- Laki-laki
lebih dominan mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran cenderung
bias laki-laki. Fenomena ini dapat diamati dari buku-buku pelajaran yag sebagian
besar penulisnya adalah laki-laki. Penulis buku laki-laki sangat dominan.
- Isi
buku yang membahas status perempuan dalam masyarakat akan banyak member
pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. Muatan dari
sebagian buku-buku pelajaran (khususnya IPS, PPKN dan Pendidikan Jasmani,
Bahasa dan Sastra Indonesia, Kesenian dan sejenisnya) yang berhasil diamati
cenderung kurang berwawasan gender khususnya berkaotan dengan konsep keluarga
atau peran perempuan dalam keluarga yang telah lama dipengaruhi oleh cara
berfikir tradisonal, bahwa laki-laki adalah pemegang fungsi produksi sedangkan
perempuan pemegang fungsi reproduksi.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi bias gender dalam bidang kurangnya kontrol kebijakan
pendidikan adalah:
-
Faktor
kesenjangan antara gender dalam bidang pendidikan jauh lebih dominan laki-laki.
Khususnya dalam bidang birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang
kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis
kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi
kebijakan pendidikan. Keadaan ini akan semakin bertambah parah jika para
pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan ttersebut tidak memiliki
sensivitas gender.
- Khusus
pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut system seleksi dalam bidang
pendidikan. Control dalam penerimaan karyawan terutama di sektor swasta sangat
dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada
dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik milik pemerintah maupun swasta
maka salah satunya harus memilih untuk keluar dan biasanya perempuanlah yang
memilih keliuar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam
pendidikan.
- Faktor
struktural yakni yang menyangkut nilai sikap, pandangan dan perilaku masyarakat
secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan yang lebih
dianggap cocok untuk perempuan. Seperti pekerjaan perawat, kesehatan, teknologi
kerumahtanggan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena
perempuan dianggap hanya memilih fungsi-fungsi produksi (reproductive
function). Laki-laki dianggap lebih berperan sebagai fungsi penopang ekonomi
keluarga (productive function) sehingga harus lebih banyak memilih
keahlian-keahlian teknologi dan industri.
- Pendidikan
Islam yang konstruktif merupakan salah satu pendidikan melalui pembelajaran
induktif, yang berarti mengangkat nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan yang
hanya hanya memperkuat hafalan apabila hafalan itu hilang maka tidak punya
apa-apaa lagi. Maka diperlukan pandidikan yang demokratis yaitu peserta didik
diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, menyampaikan opini dan
mengekspresikan kemampuan nalar maka akan melahirkan komunitas intelektual yang
cendekiawan.
faktor
lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah mincul
persaingan dengan teknologi yang menggatikan peranan pekerja perempuan dengan
mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya
perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan
kemampuan ekonomi yang masih lemah.
b. Upaya
Penanggulangan Dampak Negatif Bias Geder dalam Pendidikan Islam
Adapun
upaya dalam mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
- Reinterpretasi
ayat-ayat Alqur’an dan hadits yang bias gender, dilakukan secara continue agar
ajaran agama tidak dijadikan alas an untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
- Muatan
kurikulum Nasional yang menghilangkan antara laki-laki dan perempuan, demikian
pula dengan kurikulum lokal yang berbasis kesetaraan, keadilan dan
keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah
yang dimulai daringkat pendidikan kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan
tinggi.
- Pemberdayaan
kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas
belajar muali dari tingkat kelurahan sampai pada tingkat kabupaten/kota dan
disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
- Pemberdayaan
di sektor ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalam
kegiatan industri rumah tangga (home
industri) dengan demikian perlahan-lahan akan menghilangkan ketergantungan
ekonomi kepada laki-laki. Karena salah satu alas an terjadinya marginalisasi
pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki
- Pendidikan
politik kepada perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilangkan
melek politik bagi perempuana. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu
hanya milik laki-laki, dan politik itu adalah kekerasan padahal sebaliknya
politik adalah seni untuk mencapai kekuasaan. Dengan demikian, kuota 30 %
sesuai dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi mengingat pemilih terbanyak
adalah perempuan.
- Pemberdayaan
di sektor keterampilan (skill) baik
keterampilan untuk kebutuhan rumah tangga, maupun yang memiliki nilai jual
harus ditingkatkan terutama kaum perempuan di pedesaan agar terjadi
keseimbangan antara perempuan perkotaan dengan kaum perempuan yang tinggal di
pedesaan dan memiliki keterampilan yang relatif tinggi.
- Sosialisasi
Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lebih intens dilakukan agar
kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan
amanah UU KDRT.
D. Pendidikan Berbasis Gender dan
Model Pendidikan Islam non Formal Berbasis Gender
a. Pendidikan
Berbasis Gender
Pendidikan
sebagai upaya penyadaran terhadap semuan unsure termasuk di dalamnya adalah
perempuan dan laki-laki harus berperan dalam menumbuhkembangkan kesadaran
terutama perempuan untuk menuntut hak-haknya dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Demikian perjuangan RA. Kartini untuk keluar dari tradidi keraton
menjadikan beliau sebagai parementer perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Meskipun harus diakui bahwa RA. Kartini adalah bagian keluarga berjouis namun
peduli terhadap pendidikan kaum perempuan, sebagaimana dalam bukunya yang
berjudul “ Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini memberikan inspirasi,
motivasi dan spirit perjuangan perempuan untuk mengenyam pendidikan. Namun
demikian, pendidikan yang dilakukan RA. Kartini dengan sistem pendidikan dalam
rumah karena pada zamannya perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah dan RA.
Katini masih mengikuti tradisi keraton. Pada awal 1990-an kartini memberontak
melalui refleksi tulisan misalnya mengapa perempuan tidak diberi kesempatan
sama seperti laki-laki untuk mengembangkan intelektualitas dan berkiprah dalam
masyarakat.
Kondisi
dewasa ini gender dalam pendidikan semakin “membaik” meskipun masih terdapat
anggapan yang mengatakan bahwa perempuan yang berkiprah di sektor publik akan
meninggalkan pekerjaanya sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh, membimbing dan
memelihara anak.
Kesetaraan
laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan tampak sekali terjadi pada saat
mahasiswa laki-laki dan perempuan sibuk untuk melakukan aktifitas sosial dan
bahkan politik. Misalnya dalam sebuah rapat, diskusi dan seminar tercipta
suasana kesetaraan, kesederajatan antara pembicara laki-laki dan perempuan,
keduanya bisa berpendapat dan melontarkan ide-ide atau gagasan.
Selanjutnya,
proses pembelajaran dalam pendidikan yang berbasis gender merupakan bagian
terpenting dari eksistensise sekolah. Proses ini menjadi transfer dari berbagai
misi yang diemban oleh institusi pendidikan. Oleh karena itu, subtansi dari
pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui transformation of knowledge kepada
peserta didik sebagai subjek sekaligus objek pendidikan.
b. Model
Pendidikan Islam non Formal Berbasis Gender
Sejak
era tahun 1980-an pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam non-formal yang
dikelolah oleh masyarakat di luar sekolahtampak cukup berkembang seperti jamur
tumbuh di musim hujan. Fenomena pendidikan non-formal ditandai dengan munculnya
Taman Pemdidikan Alqur’an (TPA), Taman Kanak-kanak Alqur’an, Madrasah Diniyah,
majelis Taklim dan bentuk-bentuk pengajian keagamaan Islam lainnya. Misalnya,
majelis taklim sebagai model pendidikan non-formal, tampak memiliki kekhasan
tersendiri dalam model pembelajaran. Apabila dilihat dan didengar dari segi
nama, jelas sangat popular terutama komunitas perempuan. Meskipun namanya
majelis taklim berbahasa Arab namun di tanah kelahiran Islam mungkin belum ada
majelis taklim yang khusus diikuti oleh perempuan paruh baya.
Pendidikan
non-formal ini telah berkembang jauh sebelum pendidikan formal dilembagakan
oleh pemerintah. Munculnya pendidikan formal tidak berarti pendidikan
non-formal lenyap atau kehilangan peran, justru muncul dimana-mana dengan
bentuk dan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gender
dalam pendidikan Islam sudah ada bahkan dalam konteks dasar hukum Islam yakni
Alqur’an menejelaskan dan memberikan beberapa contoh antara kesetaraan hak
laki-laki dan perempuan meskipun tetap ada yang memang perempuan tidak ikut
serta. Namun hal demikian memang sudah merupakan kodrat bagi perempuan. Seperti
Nabi dan Rasul
B.
Saran
Dalam pembahasan
atau penulisan makalah ini penulis masih sangat terbatas pengetahuannya
tentang materi yang diangkat sehingga
sudah pasti masih terdapat kekurangan sehingga penulis sangat terbatas dalam
mengambil referensi yang relefan dengan pokok bahasan.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya
(Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushab al-Syarif, 1415 H.)
Echol Jhon M., dan Hasan Shadily,
Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),
cet.23
Faqih Mansour, Gender
Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
Faqih
Mansour, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996
http//haqfaisol.files.wordpress.com
Mufidah
Ch, Paradigma Gender, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003)
Shihab Quraish, Tafsir
al-Mishbah,: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alqur’an, Jilid II, cet. I (Jakarta: Lentera Hati), 2000
Umar
Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2001
[1] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif
al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 2001, hal. 1.
[2]
Mansour
Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1996, hal.8.
[3] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar
Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a
[4] Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat
Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
[5] Mufidah Ch, Paradigma Gender, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2003), hlm. 4-6.
[6]
Alqur’an dan Terjemahannya
(Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’ah al-Mushab al-Syarif, 1415 H.), h.
847.
[7]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,: Pesan,
Kesan dan Keserasian Alqur’an, Jilid II, cet. I (Jakarta: Lentera Hati),
2000, h. 299-300.