Selasa, 01 April 2014

hubungan sejarah wajo



DATUK SULAIMAN
(Datuk Patimang)
Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa itu.
Syiar Islam
Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri Bandang yang ahli fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba
Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).
Seperti umumnya budaya dan tradisi masyarakat nusantara pada masa itu, masyarakat Luwu juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah dewa-dewa. Namun dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.
Wafat
Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.
Sementara itu Datuk ri Bandang pergi dari kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, lalu dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat di wilayah Tallo. Sedangkan Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.
Masyarakat Sulawesi Selatan pada zaman dahululu memiliki keyakinan yang beragam. Untuk etnis Bugis dan Makassar serta Mandar, telah memahami konsepsi ketunggalan Tuhan. Mereka menyebut dengan nama “Dewata SeuwaE” yang berarti Tuhan yang tunggal.
Kata “Dewata” menurut Mattulada berasal dari kata “De” dan “Watang” yang bermakna tiada yang mampu mengalahkan kekuatannya. Ada juga yang mengatakan bahwa “De” dan “Watang” berarti tidak memiliki jasmani. Bukan juga tidak mungkin, kata “Dewata” adalah istilah yang diserap dari kebudayaan lain. Tapi terlepas dari berbagai anggapan di atas, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya di zaman dahulu telah meyakini ketunggalan Tuhan.
Meski demikian, kepercayaan dahulu juga menempatkan kekuatan-kekuatan magis dalam sistem keyakinannya. Sehingga, hingga hari ini kita masih menemukan praktek ritual kuno yang ditujukan terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.
Proses Islamisasi
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan sebenarnya telah berjalan sebelum awal abad ke-17. Atau sebelum kerajaan-kerajaan mengakui Islam sebagai agama resmi. Hal ini diindikasikan dengan adanya makam wali di Sulawesi Selatan, atau cerita rakyat maupun naskah kuno sebelumnya yang berkisar abad ke-13 dan 14. Meski demikian masih membutuhkan penelitian kesejarahan yang lebih mendalam.
Pada akhir abad 16 kerajaan Makassar adalah kerajaan yang terkuat di timur nusantara yang telah berinteraksi dengan kerajaan luar seperti Portugis, Denmark, Inggris dan Spanyol. Hal ini membuat kaum jesuit tertarik untuk menyebarkan misi kristen di Sulawesi. Maka datanglah misionaris dari Portugis yang menawarkan kristen kepada Raja Makassar. Bahkan misionaris Portugis sempat mengkristenkan Datu Suppa (Pinrang) dan Raja Siang (Pangkep). Namun pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan Ternate dan Aceh juga menawarkan Islam.
Sejarah mencatat, Sultan Iskandar Muda Raja Aceh mengirim Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Tiro dan Dato’ Sulaiman untuk menyebarkan Islam. Di tempatain, La Mungkace to Udamang, Raja Wajo pernah bermimpi melihat orang shalat dan tertarik. Namun merasa ajalnya sudah dekat, beliau mewasiatkan bahwa akan ada agama baru dan hendaknya rakyatnya mengikuti agama tersebut.Sebelum Dato’ ri Bandang menemui Karaeng Tallo (mangkubumi kerajaan makassar), I Malingkaan daeng Nyori Karaeng Tallo bertemu dengan seorang yang berjubah warna keemasan dan menganjurkan agar menerima Islam. Padahal sebelumnya, putranya hendak membunuh Dato’ ri Bandang.
Ketika Dato’ ri Bandang mengunjungi Karaeng Tallo, beliau mengucapkan salam dan dijawab juga dengan salam. Proses selanjutnya Karaeng Tallo beserta anaknya mengucap dua kalimat syahadat. Memang kisah pengislaman terkadang berbau mistis, sehubungan dengan paradigma masyarakat pada saat itu. Tapi bukan berarti pembenaran terhadap rasionalitas empiris yang serta merta menolak pandangan seperti itu.
Di Luwu, Dato’ ri Sulaiman (Dato’ Patimang) bertemu dengan Datu Luwu yaitu Daeng Parabbang dan berdiskusi tentang ketuhanan. Ternyata konsep Dewata Seuwae yang dipahami Datu Luwu dan rakyatnya kemudian disebut Dato’ Patimang sebagai Allah Subhanahu Wataala dan konsekuensinya adalah mengakui kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja Luwu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat itu. Dan Luwu adalah simbol tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu adalah kemenangan besar dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu untuk menyebarkan Islam, Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah kekuatan dan menganjurkan agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan politik dan militer yang dimilikinya.
Gowa menyerang Siang dan Suppa yang sempat dikristenkan lalu diIslamkan. Kemudian kerajaan-kerajaan Ajatappareng (Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun 1605. Selanjutnya kerajaan Soppeng di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan Soppeng dan Gowa menyerang Wajo dan Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609. Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan Wajo menyerang Bone pada tahun 1611. Takluknya Bone adalah dalam musu selleng “Perang Islamisasi” adalah pertanda masyarakat jazirah Sulawesi Selatantelah menerima Islam.
Diakuinya Islam menjadi agama resmi kerajaan, berimbas pada berubahnya konstitusi dan struktur kerajaan. Pangadareng adalah konstitusi kerajaan yang terdiri dari
1.Ade’ yang berarti undang-undang atau ketetapan permanen.
2.Rapang yang kurang lebih berarti yurisprudensi.
3.Wari’ yang bermakna aturan-aturan termasuk keprotokoleran
4.Bicara yang berarti kesepakatan dewan kerajaan.
Setelah masuknya Islam, maka faktor ke-5 adalah syara’ atau syariat. Dari sinilah perlahan syariat Islam ditegakkan. Kebiasaan pra Islam misalnya makan babi, minum lawar dan ballo’ dihilangkan untuk mengikuti syariat Islam. Disamping itu, peran Bissu pendeta Bugis diminimalisir.
La Maddaremmeng Arungpone adalah Raja Bone yang tegas dalam Islamisasi. Beliau bermaksud memerdekakan strata “Ata” atau budak, namun ditentang oleh petinggi kerajaan. Sementara di kerajaaan Makassar, Syeh Yusuf berbeda pendapat dengan Karaeng Patingallong tentang Ballo’ dan Botoro’ (minuman keras dan judi). Akibatnya, Syeh Yusuf memilih meninggalkan Makassar dan bermukim di Banten.
Tokoh-tokoh Islam Sulawesi Selatan seperti 3 Dato’ dari Minangkabau, Syeh Samman dan Syeh Yusuf adalah penganjur tradisi Khalwatiah. Mungkin karena hal ini maka sampai hari ini masih banyak penganut tradisi ini. Pengaruh Wahabi juga sempat masuk pada abad ke-19, namun paradigma mistik masyarakat tidak memberi ruang yang luas terhadap ajaran ini. Untuk menerapkan syariat, dibentuk Institusi yaitu Qadhi (Hakim), Khatib, Imam, Bilal dan Doja. Merekalah yang mengajarkan masyarakat tentang Islam, mulai dari mengaji, fikih sampai pada pengetahuan sufistik.
Berkembangnya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan berperan signifikan dalam pola keberislaman masyarakat. Namun satu hal yang perlu diakui adalah Islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah di sebagian Toraja yang masih menganut kepercayaan lokal dan Kristen.
Terbentuknya pesantren pada zaman kemerdekaan oleh ulama lokal seperti KH. Muh. As’ad, KH. Ambo Dalle dan Imam Lapeo berperan penting dalam memperluas syiar Islam.
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Begitu kentalnya akulturasi Islam dan budaya sehingga ketika kita membahas hal-hal metafisis maka akan sulit dibedakan antara sufistik Islam dengan tradisi lokal. Namun pada tataran ritual, maka akulturasi itu akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah baru pra Islam digantikan dengan pembacaan Barzanji. Dalam tradisi lokal, telur memiliki maknatelur. Akan tetapi, untuk mengajak masyarakat agar lebih mengenal Nabinya melalui Maulid, maka ditengah Mesjid dipasang telur yang dihias yang kemudian diperebutkan dengan harapan mendapatkan berkah dari Nabi.
Pengajaran agama secara tradisional dimulai dengan mengaji dengan metode pengkhidmatan. Dimana anak yang belajar mengaji disuruh untuk mengangkat air oleh guru mengajinya. Ketika beranjak dewasa dan bermaksud mendalami hal-hal batiniah, maka dituntut melakukan tazkiyatun nafs. Saat ia dianggap sudah mampu, maka diajarkan ilmu sufistik secara rahasia. Yaitu di dalam kelambu dan menggigit potongan emas.
Dalam tradisi tutur masyarakat ditemui kisah tentang dikalahkannya Sawerigading sang tokoh legendaris oleh Muhammad kecil pada pertandingan adu kesaktian. Kisah ini diyakini banyak orang, tapi menurut hemat penulis, ini tidak lebih sebagai sebuah pola dakwah untuk mengikis ketokohan Sawerigading. Hal ini mirip dengan ketundukannya para Pandawa oleh Semar dalam kebudayaan Jawa. Kita tidak akan menemui Semar yang memiliki Jimat Kalimasada (kalimat syahadat) pada Mahabarata yang aslinya yaitu di India.
Tradisi tutur lain adalah cerita Indra Patara yang berkisah perjalanan seorang pangeran Persia yang lebih memilih ketinggian akhlak ketimbang kekuasaan. Indra Patara dikisahkan kepada pangeran-pangeran kecil sebelum tidur. Hingga hari ini, walau terancam punah, kita masih mendapatkan hiburan gambusu’ yang merupakan budaya serapan dari timur tengah yang ditampilkan saat walimah pernikahan.Pada naskah Lontara, Stempel Kerajaan, dan Bendera Kerajaan, tak jarang kita temui penggunaan huruf hijaiyah selain aksara lontara maupun latin.
Dari sekelumit hal di atas dapat dipahami bahwa budaya lokal terbuka terhadap perubahan dan pengaruh luar selama sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita masih temukan ritual kuno di pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan hari ini berada di zaman modern dan global. Sehingga berbagai varian-varian Islam seperti gerakan Wahabiyah dan Ikhwanul Muslimin ikut mewarnai Islamisasi. Di pihak lain, intervensi budaya asing sedang gencar-gencarnya. Menjadi tanda tanya dan tantangan generasi hari ini untuk melanjutkan proses Islamisasi yang masih terus berproses mencari bentuknya : Islam Sulawesi.
Ini kejadian di thn 1605 , abad 17.
Tandipau menguji kesaktian ilmu Datuk Sulaiman. Seorang tamu terhormat Raja Luwu dari Tanah Minangkabau.
Berkata Tandipau kepada Sulaiman,”Selaku muslim, Ilmu apa yang dapat kamu perlihatkan kepada kami  yang bukan muslim?”.
“Tadak banyak”, jawab Sulaiman.”Namun Saya mohon kepada tuan,jika tak keberatan,  membawakan sebuah gentong kosong dan air seukuran gentong kehadapan Saya?”, pinta Sulaiman dengan nada merendah. Selang  lima menit kemudian, gentong permintaan Datuk sudah ada dihadapannya.”Tapi, kalau boleh Saya tahu Datuk, gentong ini untuk apa,yah?” .Sambil menumpahkan air ke dalam gentong Datuk berucap,”Lihat saja nanti.Apa yang Tuan  inginkan akan Tuan lihat sendiri”.
Gentong yang telah sesak dengan air puti tadi kemudian diletakkan di atas tanah datar.Tandipau dan para petinggi kerjaan Luwu yang hadir  memperhtikan dengan seksama.
“Tandipau”, tanya Datuk Sulaiman,”Saya persilahkan Tuan mengangkat gentong itu, lalu mulutnya di balik menghadap ke tanah. Dan tahan sampai 5 menit.Boleh tuan?”
Tandipau memenuhi permintaan Datuk Sulaiman.Gentong penuh air diangkat ke atas lalu mulutnya di balik menghadap tanah.Apa yang terjadi? Tak setetespun air jatuh dari perut gentong yang sesak.Ini berlangsung selama 5 menit.

“Anda benar-benar  hebat”, kata Tandipau pada Tamunya.
Tapi Tandipau lebih kagum pada yang satu ini. Enam butir telur disusun vertikal di atas lantai. Tiga menit kemudian satu butir diambil yang menyebabkan ada ruang kosong antara dua telur bagian atas dan tiga telur bagian bawah.
Logika  Tandipau bekata,”Dua telur bagian atas pasti jautuh karena tak adalagi telur yang mengganjal”.Kenyataannya tidak demikian.Kelima telur ayam itu tetap tersusun vertikal seperti semula.Tak satupun dari telur itu jatuh berantakan.
“Itulah yang Saya miliki Tuan”, ucap Datuk Sulaiman mengakhiri dmonstrasinya.
Cerita selanjutnya. Raja Luwu akhirnya  mempersilahkan Datu Sulaiman berdagang dan melakukan syiar islam.Dan Tandipau menjadi orang pertama dari kerajaan  Luwu saat itu memeluk Islam.Namanya kemudian dijadikan nama jalan di salah satu jalan poros Kota Palopo Sul-Sel.
Fakta sejarah dari kerjaan luwuk itu merupakan counter attack dari anggapan bahwa Islam disebarkan dengan pedang.Tidak, Islam tidak disebarkan dengan pedan, melainkan disebarkan dengan cara lembut dan santun  yang berdiri di atas hati yang suci.

Referensi
Munawwar Andi Rahmat, tokoh sejarawan muda Sul-sel yang arif dan tanpa pemihakan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar