DATUK SULAIMAN
(Datuk Patimang)
Datuk Patimang
yang bernama asli Datuk Sulaiman dan
bergelar Khatib Sulung adalah seorang
ulama dari Koto Tangah, Minangkabau
yang menyebarkan agama Islam
ke Kerajaan Luwu,
Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad
ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama,
yaitu Datuk
ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin
Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu
menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi
Selatan pada masa itu.
Syiar Islam
Mereka menyebarkan agama Islam
dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka
miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar
ketika itu. Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri
Bandang yang ahli fikih
di Kerajaan Gowa
dan Tallo
sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro
dan Bulukumba
Pada awalnya Datuk Patimang dan
Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga
menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan
tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara,
Luwu
Timur serta Kota
Palopo, Tana
Toraja, Kolaka (Sulawesi
Tenggara) hingga Poso (Sulawesi
Tengah).
Seperti umumnya budaya dan tradisi
masyarakat nusantara pada masa itu, masyarakat Luwu juga masih menganut
kepercayaan animisme/dinamisme yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan
menyembah dewa-dewa. Namun dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar
Islam yang dilakukan Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang dapat diterima Raja
Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan
yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang
bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta
seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama
dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama
Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun
dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.
Wafat
Setelah Raja Luwu dan keluarganya
beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di
Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo
dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang
penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.
Sementara itu Datuk ri Bandang pergi
dari kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap
di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar,
Jeneponto, Bantaeng,
lalu dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat di wilayah Tallo.
Sedangkan Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah
selatan, yaitu Tiro, Bulukumba,
Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan
mantera-mantera. Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil
mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan
dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.
Masyarakat Sulawesi Selatan pada
zaman dahululu memiliki keyakinan yang beragam. Untuk etnis Bugis dan Makassar
serta Mandar, telah memahami konsepsi ketunggalan Tuhan. Mereka menyebut dengan
nama “Dewata SeuwaE” yang berarti Tuhan yang tunggal.
Kata “Dewata” menurut Mattulada
berasal dari kata “De” dan “Watang” yang bermakna tiada yang mampu mengalahkan
kekuatannya. Ada juga yang mengatakan bahwa “De” dan “Watang” berarti tidak
memiliki jasmani. Bukan juga tidak mungkin, kata “Dewata” adalah istilah yang diserap
dari kebudayaan lain. Tapi terlepas dari berbagai anggapan di atas, masyarakat
Sulawesi Selatan umumnya di zaman dahulu telah meyakini ketunggalan Tuhan.
Meski demikian, kepercayaan dahulu
juga menempatkan kekuatan-kekuatan magis dalam sistem keyakinannya. Sehingga,
hingga hari ini kita masih menemukan praktek ritual kuno yang ditujukan
terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi di Sulawesi
Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.
Proses
Islamisasi
Proses Islamisasi di Sulawesi
Selatan sebenarnya telah berjalan sebelum awal abad ke-17. Atau sebelum
kerajaan-kerajaan mengakui Islam sebagai agama resmi. Hal ini diindikasikan
dengan adanya makam wali di Sulawesi Selatan, atau cerita rakyat maupun naskah
kuno sebelumnya yang berkisar abad ke-13 dan 14. Meski demikian masih
membutuhkan penelitian kesejarahan yang lebih mendalam.
Pada akhir abad 16 kerajaan Makassar
adalah kerajaan yang terkuat di timur nusantara yang telah berinteraksi dengan
kerajaan luar seperti Portugis, Denmark, Inggris dan Spanyol. Hal ini membuat
kaum jesuit tertarik untuk menyebarkan misi kristen di Sulawesi. Maka datanglah
misionaris dari Portugis yang menawarkan kristen kepada Raja Makassar. Bahkan
misionaris Portugis sempat mengkristenkan Datu Suppa (Pinrang) dan Raja Siang
(Pangkep). Namun pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan Ternate dan Aceh
juga menawarkan Islam.
Sejarah mencatat, Sultan Iskandar
Muda Raja Aceh mengirim Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Tiro dan Dato’ Sulaiman
untuk menyebarkan Islam. Di tempatain, La Mungkace to Udamang, Raja Wajo pernah
bermimpi melihat orang shalat dan tertarik. Namun merasa ajalnya sudah dekat,
beliau mewasiatkan bahwa akan ada agama baru dan hendaknya rakyatnya mengikuti
agama tersebut.Sebelum Dato’ ri Bandang menemui Karaeng Tallo (mangkubumi
kerajaan makassar), I Malingkaan daeng Nyori Karaeng Tallo bertemu dengan
seorang yang berjubah warna keemasan dan menganjurkan agar menerima Islam.
Padahal sebelumnya, putranya hendak membunuh Dato’ ri Bandang.
Ketika Dato’ ri Bandang mengunjungi
Karaeng Tallo, beliau mengucapkan salam dan dijawab juga dengan salam. Proses
selanjutnya Karaeng Tallo beserta anaknya mengucap dua kalimat syahadat. Memang
kisah pengislaman terkadang berbau mistis, sehubungan dengan paradigma masyarakat
pada saat itu. Tapi bukan berarti pembenaran terhadap rasionalitas empiris yang
serta merta menolak pandangan seperti itu.
Di Luwu, Dato’ ri Sulaiman (Dato’
Patimang) bertemu dengan Datu Luwu yaitu Daeng Parabbang dan berdiskusi tentang
ketuhanan. Ternyata konsep Dewata Seuwae yang dipahami Datu Luwu dan rakyatnya
kemudian disebut Dato’ Patimang sebagai Allah Subhanahu Wataala dan
konsekuensinya adalah mengakui kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja Luwu
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol
kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat itu. Dan Luwu adalah simbol
tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu adalah kemenangan besar
dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu untuk menyebarkan Islam,
Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah kekuatan dan
menganjurkan agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan politik dan
militer yang dimilikinya.
Gowa menyerang Siang dan Suppa yang
sempat dikristenkan lalu diIslamkan. Kemudian kerajaan-kerajaan Ajatappareng
(Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun 1605. Selanjutnya kerajaan Soppeng
di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan Soppeng dan Gowa menyerang Wajo
dan Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609. Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan
Wajo menyerang Bone pada tahun 1611. Takluknya Bone adalah dalam musu selleng
“Perang Islamisasi” adalah pertanda masyarakat jazirah Sulawesi Selatantelah
menerima Islam.
Diakuinya Islam menjadi agama resmi kerajaan, berimbas pada
berubahnya konstitusi dan struktur kerajaan. Pangadareng adalah konstitusi
kerajaan yang terdiri dari
1.Ade’ yang berarti undang-undang atau ketetapan permanen.
2.Rapang yang kurang lebih berarti yurisprudensi.
3.Wari’ yang bermakna aturan-aturan termasuk keprotokoleran
4.Bicara yang berarti kesepakatan dewan kerajaan.
Setelah masuknya Islam, maka faktor ke-5 adalah syara’ atau
syariat. Dari sinilah perlahan syariat Islam ditegakkan. Kebiasaan pra Islam
misalnya makan babi, minum lawar dan ballo’ dihilangkan untuk mengikuti syariat
Islam. Disamping itu, peran Bissu pendeta Bugis diminimalisir.
La Maddaremmeng Arungpone adalah
Raja Bone yang tegas dalam Islamisasi. Beliau bermaksud memerdekakan strata
“Ata” atau budak, namun ditentang oleh petinggi kerajaan. Sementara di
kerajaaan Makassar, Syeh Yusuf berbeda pendapat dengan Karaeng Patingallong
tentang Ballo’ dan Botoro’ (minuman keras dan judi). Akibatnya, Syeh Yusuf
memilih meninggalkan Makassar dan bermukim di Banten.
Tokoh-tokoh Islam Sulawesi Selatan
seperti 3 Dato’ dari Minangkabau, Syeh Samman dan Syeh Yusuf adalah penganjur
tradisi Khalwatiah. Mungkin karena hal ini maka sampai hari ini masih banyak
penganut tradisi ini. Pengaruh Wahabi juga sempat masuk pada abad ke-19, namun
paradigma mistik masyarakat tidak memberi ruang yang luas terhadap ajaran ini. Untuk
menerapkan syariat, dibentuk Institusi yaitu Qadhi (Hakim), Khatib, Imam, Bilal
dan Doja. Merekalah yang mengajarkan masyarakat tentang Islam, mulai dari
mengaji, fikih sampai pada pengetahuan sufistik.
Berkembangnya Muhammadiyah di
Sulawesi Selatan berperan signifikan dalam pola keberislaman masyarakat. Namun
satu hal yang perlu diakui adalah Islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah
di sebagian Toraja yang masih menganut kepercayaan lokal dan Kristen.
Terbentuknya pesantren pada zaman kemerdekaan oleh ulama
lokal seperti KH. Muh. As’ad, KH. Ambo Dalle dan Imam Lapeo berperan penting
dalam memperluas syiar Islam.
Akulturasi
Islam dan Budaya Lokal
Begitu kentalnya akulturasi Islam
dan budaya sehingga ketika kita membahas hal-hal metafisis maka akan sulit
dibedakan antara sufistik Islam dengan tradisi lokal. Namun pada tataran
ritual, maka akulturasi itu akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah
baru pra Islam digantikan dengan pembacaan Barzanji. Dalam tradisi lokal, telur
memiliki maknatelur. Akan tetapi, untuk mengajak masyarakat agar lebih mengenal
Nabinya melalui Maulid, maka ditengah Mesjid dipasang telur yang dihias yang
kemudian diperebutkan dengan harapan mendapatkan berkah dari Nabi.
Pengajaran agama secara tradisional
dimulai dengan mengaji dengan metode pengkhidmatan. Dimana anak yang belajar
mengaji disuruh untuk mengangkat air oleh guru mengajinya. Ketika beranjak
dewasa dan bermaksud mendalami hal-hal batiniah, maka dituntut melakukan tazkiyatun
nafs. Saat ia dianggap sudah mampu, maka diajarkan ilmu sufistik secara
rahasia. Yaitu di dalam kelambu dan menggigit potongan emas.
Dalam tradisi tutur masyarakat
ditemui kisah tentang dikalahkannya Sawerigading sang tokoh legendaris oleh
Muhammad kecil pada pertandingan adu kesaktian. Kisah ini diyakini banyak
orang, tapi menurut hemat penulis, ini tidak lebih sebagai sebuah pola dakwah
untuk mengikis ketokohan Sawerigading. Hal ini mirip dengan ketundukannya para
Pandawa oleh Semar dalam kebudayaan Jawa. Kita tidak akan menemui Semar yang
memiliki Jimat Kalimasada (kalimat syahadat) pada Mahabarata yang aslinya yaitu
di India.
Tradisi tutur lain adalah cerita
Indra Patara yang berkisah perjalanan seorang pangeran Persia yang lebih
memilih ketinggian akhlak ketimbang kekuasaan. Indra Patara dikisahkan kepada
pangeran-pangeran kecil sebelum tidur. Hingga hari ini, walau terancam punah,
kita masih mendapatkan hiburan gambusu’ yang merupakan budaya serapan dari
timur tengah yang ditampilkan saat walimah pernikahan.Pada naskah Lontara,
Stempel Kerajaan, dan Bendera Kerajaan, tak jarang kita temui penggunaan huruf
hijaiyah selain aksara lontara maupun latin.
Dari sekelumit hal di atas dapat
dipahami bahwa budaya lokal terbuka terhadap perubahan dan pengaruh luar selama
sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita masih temukan ritual kuno di
pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan tidak berhubungan sama
sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan hari ini
berada di zaman modern dan global. Sehingga berbagai varian-varian Islam
seperti gerakan Wahabiyah dan Ikhwanul Muslimin ikut mewarnai Islamisasi. Di
pihak lain, intervensi budaya asing sedang gencar-gencarnya. Menjadi tanda
tanya dan tantangan generasi hari ini untuk melanjutkan proses Islamisasi yang
masih terus berproses mencari bentuknya : Islam Sulawesi.
Ini kejadian di thn 1605 , abad
17.
Tandipau menguji kesaktian ilmu Datuk Sulaiman. Seorang tamu terhormat
Raja Luwu dari Tanah Minangkabau.
Berkata Tandipau kepada Sulaiman,”Selaku muslim, Ilmu apa yang dapat
kamu perlihatkan kepada kami yang bukan muslim?”.
“Tadak
banyak”, jawab Sulaiman.”Namun Saya mohon kepada tuan,jika tak keberatan,
membawakan sebuah gentong kosong dan air
seukuran gentong kehadapan Saya?”, pinta Sulaiman dengan nada merendah. Selang
lima menit kemudian, gentong permintaan Datuk sudah ada
dihadapannya.”Tapi, kalau boleh Saya tahu Datuk, gentong ini untuk apa,yah?”
.Sambil menumpahkan air ke dalam gentong Datuk
berucap,”Lihat saja nanti.Apa yang Tuan inginkan akan Tuan lihat
sendiri”.
Gentong yang telah sesak dengan air puti tadi kemudian diletakkan di
atas tanah datar.Tandipau dan para petinggi
kerjaan Luwu yang hadir memperhtikan dengan seksama.
“Tandipau”,
tanya Datuk Sulaiman,”Saya persilahkan Tuan mengangkat gentong itu, lalu
mulutnya di balik menghadap ke tanah. Dan tahan sampai 5 menit.Boleh tuan?”
Tandipau memenuhi permintaan Datuk Sulaiman.Gentong penuh air diangkat
ke atas lalu mulutnya di balik menghadap tanah.Apa yang terjadi? Tak setetespun
air jatuh dari perut gentong yang sesak.Ini berlangsung selama 5 menit.
“Anda benar-benar hebat”, kata Tandipau pada Tamunya.
Tapi Tandipau lebih kagum pada yang satu ini. Enam butir telur disusun
vertikal di atas lantai.
Tiga menit kemudian satu butir diambil yang menyebabkan ada ruang kosong antara
dua telur bagian atas dan tiga telur bagian bawah.
Logika Tandipau bekata,”Dua telur bagian atas pasti jautuh
karena tak adalagi telur yang mengganjal”.Kenyataannya tidak demikian.Kelima
telur ayam itu tetap tersusun vertikal seperti semula.Tak satupun dari telur
itu jatuh berantakan.
“Itulah
yang Saya miliki Tuan”, ucap Datuk Sulaiman mengakhiri dmonstrasinya.
Cerita selanjutnya. Raja Luwu akhirnya mempersilahkan Datu
Sulaiman berdagang dan melakukan syiar islam.Dan Tandipau menjadi orang pertama
dari kerajaan Luwu saat itu memeluk Islam.Namanya kemudian dijadikan nama
jalan di salah satu jalan poros Kota Palopo Sul-Sel.
Fakta sejarah dari kerjaan luwuk itu merupakan counter attack dari anggapan bahwa Islam disebarkan dengan pedang.Tidak, Islam tidak disebarkan dengan pedan, melainkan disebarkan dengan cara lembut dan santun yang berdiri di atas hati yang suci.
Fakta sejarah dari kerjaan luwuk itu merupakan counter attack dari anggapan bahwa Islam disebarkan dengan pedang.Tidak, Islam tidak disebarkan dengan pedan, melainkan disebarkan dengan cara lembut dan santun yang berdiri di atas hati yang suci.
Referensi
^ PT
Balai Pustaka, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Volume 3
Munawwar Andi Rahmat, tokoh sejarawan muda Sul-sel yang arif dan
tanpa pemihakan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar